Meningkatkan mutu pendidikan adalah sebuah alasan yang banyak saat ini menjadi bahan pembicaraan. Pada pertengahan tahun 2006 pemerintah mulai merintis sekolah bertaraf internasional (SBI) melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah-sekolah tersebut juga dimaksudkan untuk mewadahi secara khusus siswa-siswi yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata. Pemerintah pun menggelontorkan dana ratusan juta rupiah kepada sekolah berlabel SBI dan RSBI. Berbagai aturan lalu diciptakan sebagai standar minimal jika Sekolah Standar Nasional (SSN) ingin bertransformasi menjadi RSBI. Misalnya menetapkan delapan standar pendidikan nasional sebagai syarat minimal memperoleh label internasional tersebut.
Delapan standar pendidikan nasional itu meliputi standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, standar penilaian pendidikan, dan standar kompetensi kelulusan.
Menyikapi itu, banyak sekolah akhirnya berbondong-bondong, bahkan tergopoh memenuhi delapan standar pendidikan nasional demi mendapatkan "gelar" RSBI untuk sekolahnya. Tak jarang, pemenuhan standar itu ditempuh dengan cara-cara yang tidak fair, cenderung dipaksakan, sehingga masyarakat seringkali ikut merasakan getahnya.
Soal yang kemudian timbul adalah pembiayaan, karena sekolah tersebut diberi kebebasan memungut biaya dari murid tanpa batasan. Akibatnya sekolah berlabel SBI atau RSBI sangat mahal. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, beberapa sekolah RSBI mematok harga belasan juta rupiah kepada setiap siswa yang baru mendaftar.
Para pengelola RSBI berdalih biaya yang mahal adalah upaya untuk memenuhi fasilitas demi menuju SBI. Sementara pengelola SBI berkilah biaya yang dipatok mahal karena akan dipakai untuk mencapai standar internasional.
Pemerhati pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Lody Paat mengatakan, potret semacam itu (biaya mahal) terjadi hampir di seluruh sekolah RSBI. Baginya, pemerintah tak pernah belajar dari pendidikan masa lalu (jaman kolonial). Di mana pendidikan bermutu hanya diberikan untuk kalangan mampu, kalangan borjuis.
Menurutnya, hal itu tak sejalan dengan standar proses dalam delapan standar pendidikan nasional. Karena seharusnya sekolah berstatus RSBI dapat menciptakan proses pembelajaran yang memotivasi, menyenangkan, dan mendorong kreativitas peserta didik sesuai dengan minat dan bakatnya.
"Bagaimana dapat memotivasi dan menyenangkan, karena sekolah RSBI didominasi oleh kalangan atas, dan biaya mahal hanya akan membuat siswa miskin minder," kata Lody.
Sebenarnya pemerintah telah menerapkan berbagai formula agar sekolah RSBI tetap dapat diakses oleh semua kalangan. Misalnya saja mewajibkan semua sekolah RSBI menyediakan 20 persen kursinya untuk siswa berprestasi dari kalangan tidak mampu.
Akan tetapi, dari penelusuran Kompas.com ke beberapa SMA RSBI di Jakarta, masih banyak sekolah yang tidak patuh aturan. Kursi RSBI sering diputuskan secara finansial, bukan melihat prestasi akademik.
Berbagai protes pun dialamatkan kepada penyelenggaraan RSBI. Puncaknya adalah saat sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Komersialisasi Pendidikan (KMAKP) "menggeruduk" gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuntut MK melakukan uji petik (judicial review) pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mengatur RSBI/SBI.
Menurut Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, kebijakan RSBI melanggar hak anak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Kastanisasi yang tercipta bukan didasarkan pada kemampuan medik, tapi uang.
Beberapa fakta menunjukkan prestasi akademik tidak selalu berkorelasi dengan status sekolah. Pada hasil UN SMA tahun ini, nilai UN tertinggi nasional bukan berasal dari siswa di sekolah RSBI, melainkan Mutiarani, seorang siswi dari SMK Negeri 2 Semarang. Ironisnya, sedikitnya belasan siswa sekolah RSBI di Jakarta tidak lulus UN tahun ini.
Pro dan kontra akan kehadiran RSBI ini berlanjut ke sidang MK guna memperoleh penegasan konstitusi. Selama beberapa kali masa sidang, sejumlah saksi ahli dihadirkan untuk mewakili kedua belah pihak memaparkan argumentasinya mengenai RSBI.
Pada 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud sebenarnya telah mengevaluasi 1.329 sekolah berlabel RSBI. Buntutnya dipertengahan tahun yang sama, pemberian izin bagi sekolah yang ingin mengajukan menjadi RSBI dihentikan oleh pemerintah.
Pemerintah tak pernah secara lugas menyampaikan alasan diberhentikannya pemberian izin tersebut. Yang jelas, hanya izinnya saja yang dihentikan, tapi RSBI tetap berjalan, dan belum dibubarkan.
Selama persidangan, pihak tergugat selalu berikukuh mempertahankan RSBI. Pemerintah memiliki anggapan, RSBI merupakan wadah khusus untuk mencetak sumber daya berkaliber internasional. "Kemampuan akademik berbeda, wajar kalau kita lakukan secara khusus," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud, Suyanto.
Lantas, bagaimanakah nasib RSBI selanjutnya? Tetap diselenggarakan atau takdir berkata lain? Semua menunggu putusan MK....
Delapan standar pendidikan nasional itu meliputi standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, standar penilaian pendidikan, dan standar kompetensi kelulusan.
Menyikapi itu, banyak sekolah akhirnya berbondong-bondong, bahkan tergopoh memenuhi delapan standar pendidikan nasional demi mendapatkan "gelar" RSBI untuk sekolahnya. Tak jarang, pemenuhan standar itu ditempuh dengan cara-cara yang tidak fair, cenderung dipaksakan, sehingga masyarakat seringkali ikut merasakan getahnya.
Soal yang kemudian timbul adalah pembiayaan, karena sekolah tersebut diberi kebebasan memungut biaya dari murid tanpa batasan. Akibatnya sekolah berlabel SBI atau RSBI sangat mahal. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, beberapa sekolah RSBI mematok harga belasan juta rupiah kepada setiap siswa yang baru mendaftar.
Para pengelola RSBI berdalih biaya yang mahal adalah upaya untuk memenuhi fasilitas demi menuju SBI. Sementara pengelola SBI berkilah biaya yang dipatok mahal karena akan dipakai untuk mencapai standar internasional.
Pemerhati pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Lody Paat mengatakan, potret semacam itu (biaya mahal) terjadi hampir di seluruh sekolah RSBI. Baginya, pemerintah tak pernah belajar dari pendidikan masa lalu (jaman kolonial). Di mana pendidikan bermutu hanya diberikan untuk kalangan mampu, kalangan borjuis.
Menurutnya, hal itu tak sejalan dengan standar proses dalam delapan standar pendidikan nasional. Karena seharusnya sekolah berstatus RSBI dapat menciptakan proses pembelajaran yang memotivasi, menyenangkan, dan mendorong kreativitas peserta didik sesuai dengan minat dan bakatnya.
"Bagaimana dapat memotivasi dan menyenangkan, karena sekolah RSBI didominasi oleh kalangan atas, dan biaya mahal hanya akan membuat siswa miskin minder," kata Lody.
Sebenarnya pemerintah telah menerapkan berbagai formula agar sekolah RSBI tetap dapat diakses oleh semua kalangan. Misalnya saja mewajibkan semua sekolah RSBI menyediakan 20 persen kursinya untuk siswa berprestasi dari kalangan tidak mampu.
Akan tetapi, dari penelusuran Kompas.com ke beberapa SMA RSBI di Jakarta, masih banyak sekolah yang tidak patuh aturan. Kursi RSBI sering diputuskan secara finansial, bukan melihat prestasi akademik.
Berbagai protes pun dialamatkan kepada penyelenggaraan RSBI. Puncaknya adalah saat sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Komersialisasi Pendidikan (KMAKP) "menggeruduk" gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuntut MK melakukan uji petik (judicial review) pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mengatur RSBI/SBI.
Menurut Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, kebijakan RSBI melanggar hak anak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Kastanisasi yang tercipta bukan didasarkan pada kemampuan medik, tapi uang.
Beberapa fakta menunjukkan prestasi akademik tidak selalu berkorelasi dengan status sekolah. Pada hasil UN SMA tahun ini, nilai UN tertinggi nasional bukan berasal dari siswa di sekolah RSBI, melainkan Mutiarani, seorang siswi dari SMK Negeri 2 Semarang. Ironisnya, sedikitnya belasan siswa sekolah RSBI di Jakarta tidak lulus UN tahun ini.
Pro dan kontra akan kehadiran RSBI ini berlanjut ke sidang MK guna memperoleh penegasan konstitusi. Selama beberapa kali masa sidang, sejumlah saksi ahli dihadirkan untuk mewakili kedua belah pihak memaparkan argumentasinya mengenai RSBI.
Pada 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud sebenarnya telah mengevaluasi 1.329 sekolah berlabel RSBI. Buntutnya dipertengahan tahun yang sama, pemberian izin bagi sekolah yang ingin mengajukan menjadi RSBI dihentikan oleh pemerintah.
Pemerintah tak pernah secara lugas menyampaikan alasan diberhentikannya pemberian izin tersebut. Yang jelas, hanya izinnya saja yang dihentikan, tapi RSBI tetap berjalan, dan belum dibubarkan.
Selama persidangan, pihak tergugat selalu berikukuh mempertahankan RSBI. Pemerintah memiliki anggapan, RSBI merupakan wadah khusus untuk mencetak sumber daya berkaliber internasional. "Kemampuan akademik berbeda, wajar kalau kita lakukan secara khusus," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud, Suyanto.
Lantas, bagaimanakah nasib RSBI selanjutnya? Tetap diselenggarakan atau takdir berkata lain? Semua menunggu putusan MK....