Kejahatan Korporasi
Implementasi UU 13 tahun 2003, dan PP 3 tahun 2002 pada Korban
Kejahatan Korporasi
By: Gress Gustia A.P
Undang – Undang 13 Tahun 2006 mengenai Perlindungan saksi dan
korban
Undang-undang 13 tahun 2006 adalah uang-uang yang memberikan payung
hukum terhadap saksi dan korban , sebagaimana yang di maksud dengan saksi ialah
di jelaskan pada ketentuan pasal 1 Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami
sendiri. Sedangkan korban di atur pada ayat 2 Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana.
Dari pengertian korban tersebut
jelas bahwa orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugisan
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana dapat di lindungi oleh
undang-undang ini. Penulis akan menjelaskan mengenai makna kerugian ekonomis
yang di akibatkan oleh suatu tidak pidana. Sebelum menjawab apakah
Undang-undang 13 tahun 2006 ini mengatur tentang perlindungan terhadap korban
korporasi mari kita melihat substansi yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2
mengenai korban, jika dalam ayat tersebut terdapat redaksi kata mengenai orang
yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomis yang
di sebabkan oleh suatu tindak pidana. Maka redaksi yang relevan untuk di
tafsirkan bahwa korban kejahatan korporasi juga dapat di lindungi oleh uu 13
tahun 2006 ini adalah berkaitan dengan kerugian ekonomi . di dalam pasal
5 ayat 2 menyatakan bahwa “Hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban
tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.” Yang di
maksud kasus-kasus tertentu dapat kita ketahui pada penjelasan pasal 5 ayat
2 Yang dimaksud dengan "kasus-kasus
tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana
narkotika/psikotropika,tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang
mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan jiwanya” sedangkan jika kita membahas mengenai Korupsi, di dalam
undang-undang korupsi mengenal bahwa Korporasi merupakan subjek hukum yang
dapat di lihat di dalam Bab I UU No. 31 tahun 1999 mengenenai TIPIKOR pasal 1
angka 1 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum. Dari
pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa bentuk pemberian perlindungan
terhadap korban kejahatan korporasi pada
UU 13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban, berdasarkan penjelasan
pasal 5 ayat 2 maka korban korporasi dapat juga di berikan perlindungan
sebagaimana yang di atar dalam pasal 7 Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan
restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bentuk perlindungan dalam Undang- undang ini dengan bentuk the service model. Yaitu
menentukan standar baku tentang pelayanan
terhadap korban yang dilakukan oleh polisi hakim
sebagaimana yang telah di jelaskan di atas. Misalnya pelayanan kesehatan, pendampingan,
pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi
Peraturan pemerintah Nomor 2 tanun
2002 Tentang tata cara Perlindungan Terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat
Mengenai siapa korban yang di atur di dalam Peraturan Pemerintah no
2 tahun 2002 dapat kita lihat dalam pasal ketentuan umum pasal 1 ayat 2 Korban
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun. Dari pasal tersebut menjelaskan bahwa korban tersebut adalah
korban yang terjadi akibat penderitaan dari pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Seperti yang kita ketahui bahwa karakteristik korban korporasi adalah
kejahatan yang bersifat inkonvensional, korban kejahatan sulit untuk diketahui
atau korban baru diketahui pada waktu yang cukup lama setelah terjadinya
kejahatan. Bahkan adakalanya korban tidak mengetahui sama sekali kalau dirinya
telah menjadi korban dari kejahatan korporasi. Hal itu berarti terdapat suatu
kesulitan untuk mengetahui apakah telah terjadi suatu kejahatan yang dilakukan
oleh korporasi atau tidak. Korban kejahatan korporasi sulit diidentifikasikan
mengingat sifatnya yang abstrak (abstract victim). Korban juga kadang tidak
menyadari telah menjadi korban kejahatan korporasi seperti pemerintah,
konsumen, ataupun perusahaan saingan. Sehingga korban yang di maksud pada PP No
2 tahun 2002 tidak dapat di implementasikan pada korban kejahatan korporasi. Di
karenakan korban yang di maksud PP ini adalah korban yang bersifat konvensional
yang mudah untuk di identifikasi karena berkaitan langsung dengan pelanggaran
Hak asasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar