“Penerapan Konsep Restorative
Justice dalam Perlindungan Hukum Whistle
Blower Participant dan Stategi Pemberantasan Korupsi secara Intergral dalam
Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia”
By: Gress
Gustia Adrian Pah
ABSTRAK
Sasaran “restorative
justice” bukan hanya kepada pelaku , tetapi juga kepada korban, dan saksi serta masyarakat. Dalam pandangan
Restorative Justice, kepentingan korban dan saksi sangat diperhatikan. Sama
pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi
perbuatannya lagi dan membantu untuk mengukap para pelaku. Urgensi whistleblower untuk menuntut
keberhasilan dalam suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat
bukti yang berhasil di ungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat
tidak adanya saksi dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi
dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan
pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak
disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian kepada penegak
hukum. Dalam banyak kasus, pelapor tidak dapat dikategorikan sebagai saksi
(mendengar atau mengalami) namun laporannya sangat bermanfaat untuk mengungkap
kejahatan. Dalam konteks(mafia in the
judiciary system) atau mafia hukum pengukapan suatu kejahatan yang
teorganisir (organized crime) atau
kejahatan dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan
tersebut (participant whitleblower).
Sehingga jika dalam hal pemberantasan korupsi yang banyak terjadi di lembaga
pemerintahan (pusat dan daerah), perusahaan-perusahaan swasta, BUMN. BUMD, dan
perbankan betul-betul ingin di berantas maka konsep perindungan peniup peluit/informan
harus benar-benar diatur secara komperhensi dalam sebuah undang-undang. Maka
perlindungan terhadap participant whistkeblower/
coperating witness/justice collaborator harus
secara jelas diatur dalam undang-undang. Selain hal tersebut dalam permasalahan
pemberantasan korupsi penting untuk adanya
upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya
memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi.
Strategi demikian tentunya lebih bersifat frgmenter, parsial, simptomatik dan
represif, karena seolah-oleh hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai
penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu
faktor pembaharuan udang-undangan. Padahal jika di lihat dari sudut
kebijaksanaan kriminal, strategi dasar penyalahgunaan kejahatan ( the basic crime prevention strategi)
seyogiannya diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki
keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadi
kejahatan (korupsi).
Kata Kunci Restorative Justic, Urgensi perindungan
whistleblower, pemberantasan korupsi, strategi intergral dalam pemberantasan
koruspsi
Latar Belakang
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restorative menawarkan pandangan dan
pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti
yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: Restorative justice is a new framework for
responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and
support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and
community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding
to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the
person causing the harm, and the affected community.
Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu
yang menempatkan keadilan restorative sebagai
nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal
ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku
dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana
tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat
ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya
sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model
penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting
disamping peran pelaku. Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari
berbagai model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat
sejumlah kelemahan terutama dalam kasus Whistle Blower Participant penting
untuk menjadi perhatian khusus untuk memberikan perlindungan karena itu juga
dapat menjadi salah satu bagian untuk mendukung upaya pembetantasan Korupsi di
Indonesia, selain itu Upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan
pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan
UU pemberantasan Korupsi.
Dari latar belakang
tersebut maka timbulah beberapa permasalahan yaitu
•
Bagaimana Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Perlindungan Hukum Whistle Blower Participant?
•
Bagaimana Stategi Pemberantasan Korupsi secara Intergral
dalam Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia?
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Restoratif Justice
Definisi “restorative
justice is concerned with healing victims wounds, restoring offenders to law
abiding lives, and repairing harm done to interpersonal relationships and the
community” Yang artinya kurang lebih “ restorative
justice (keadilan restoratif) berfokus untuk menyembuhkan luka yang
diderita korban (fisik maupun psikis), membuat pelaku menjadi taat hukum,
memperbaiki hubungan sesama manusia serta kepada masyarakat akibat suatu tindak
pidana;[1]
Dikutip
dari Greif, menurut Liebmann, keadilan restoratif merupakan keseimbangan dari 1.
Terapetik (pemulihan) dan retributif (penghukuman);
2.
Hak Pelaku dan hak serta kebutuhan korban;
3.
Kewajiban untuk merehabilitasi pelaku dan kewajiban melindungi kepentingan
umum;
DR.
Eva Achjani Zulfa
Keadilan
Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan
korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan
pidana yang ada pada saat ini
Jadi
sasaran “restorative justice” bukan
hanya kepada pelaku , tetapi juga kepada korban, dan saksi serta masyarakat. Dalam pandangan
Restorative Justice, kepentingan korban dan saksi sangat diperhatikan. Sama
pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi
perbuatannya lagi dan membantu untuk mengukap para pelaku. Jika kedua hal ini
telah terpenuhi, maka diharapkan kehidupan sosial masyarakat dapat pulih
kembali.
Para
penganut paham ini berpedapat karena hukum bertitik tolak tidak hanya kepada
pelaku, tetapi juga kepada korban serta masyarakat, maka penegakan hukum inilah
yang dianggap paling adil;[2]
3
Prinsip Restorative Justice:
1.
keadilan harus dapat memulihkan mereka yang telah terluka;
2.
Setiap pihak yang terkena dampak dari suatu tindak pidana (korban) memilik kesempatan
untuk berpartisipasi secara penuh dalam penegakan hukum;
3.
Peran pemerintah hanya untuk menjaga ketertiban umum. Sedangkan peran
masyarakat adalah untuk membangun dan memelihara perdamaian;
Karakteristik
Restorative Justice
1.
Pertemuan: kesempatan bagi korban, pelaku dan tokoh masyarakat untuk
mendiskusikan akibat dari suatu tindak pidana serta bagaimana solusinya;
2.
Ganti Rugi: diharapkan pelaku dapat memperbaiki akibat yang ditimbulkan;
3.
Reintegrasi: diharapkan hubungan antara pelaku, korban, serta kehidupan
bermasyarakat dapat pulih kembali;
4.
Penyertaan: memberikan kesempatan kepada orang yang menyuruh melakukan,
menganjurkan maupun turut serta melakukan untuk berpartisipasi berdiskusi dan
memberikan solusi perbaikan atas akibat yang ditimbulkan;
Partisipasi
korban dalam restorative justice bukanlah suatu keharusan, tapi merupakan hak
bagi korban. Hak ini diberikan setelah korban menerima informasi secara penuh
mengenai peran korban, peran pelaku, serta informasi penuh mengenai sistem
peradilan.
Di
Kanada (negara yang pertama kali menerapkan sistem restorative justice),
restorative justice bisa dilakukan tanpa melalui proses peradilan jika memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
Pelaku
mengaku bersalah dan bersedia bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang ia
lakukanKorban secara bebas, tanpa paksaan dari pihak manapun menyetujui proses
restorative justice di luar peradilan; perlindungan terhadap whistle
blower atau peniup peluit seharusnya dilakukan, agar sang whistle blower mampu
mengungkap kasus korupsi secara komperhensif.
Sedangkan, yang dimaksud dengan whistle blower participant adalah
whistle blower yang turut terlibat dalam kasus korupsi. Whistle blower
participant ini misalnya adalah Susno Duadji dan Agus Tjondro. Mereka patut
diapresiasi karena keberaniannya untuk mengungkap kasus dimana diri mereka
terlibat. Namun demikian, undang -
undang di Indonesia belum sama sekali mengatur perlindungan terhadap whistle
blower participant ini, sehingga mereka rawan dikriminalisasi upaya
optimalisasi perlindungan terhadap saksi masih membutuhkan proses cukup
panjang. Dia mengatakan, saat ini LPSK sedang mengajukan revisi UU No.13 Tahun
2006. “Revisi ini dikhususkan mengatur mengenai jaminan perlindungan khusus dan
reward bagi whistleblower dan justice collaborator pentingnnya dukungan
masyarakat, pemerintah dan DPR terhadap upaya revisi UU No.13 Tahun 2006 dapat
terwujud dengan masuknya revisi UU ini dalam daftar Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2013.
Upaya optimalisasi perlindungan terhadap Whistleblower dan
justice collaborator seharsunya berbanding lurus dengan penguatan kelembagaan
LPSK, sehingga penguatan kelembagaan itu pun harus ada dalam revisi UU No.13
Tahun 2006. selain ini yang perlu di
perhatikan adalah whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan
perusahaan atau institusi tempat dia bekerja dasar hukum bagi perlindungan bagi
whistleblower adalah sebagai berikut pasal 10 ayat 1UU PSK:” saksi, korban, dan
pela[or, tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas
laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. Kemudian pada pasa
10 ayat (2) UU PSK:’ seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat dibebeaskan dari tuntutan pidana, apabila ia ternyata terbukti
secara sah dan menyakinkan besalah tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang kan dijatuhkan . Mengacu ke
Amerika Serikat, setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan
bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom
dan Enron, lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 kemudian menjadi
payung hukum yang melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa
perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi,
atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas
penyimpangan yang terjadi. Jika aparat
penegak hukum dapat memberikan jaminan hukum dan keamanan kepada saksi pelapor,
apalagi ditambah pemberian reward seperti di Korea Selatan, tentunya akan lebih
banyak orang yang “berani” melaporkan berbagai penyimpangan atau korupsi, atau
bahkan menjadikan dirinya “martir” pemberantasan korupsi di negeri ini. Dalam
konteks(mafia in the judiciary system)
atau mafia hukum pengukapan suatu kejahatan yang teorganisir (organized crime) atau kejahatan
dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan tersebut (participant whitleblower). Sehingga jika
dalam hal pemberantasan korupsi yang banyak terjadi di lembaga pemerintahan
(pusat dan daerah), perusahaan-perusahaan swasta, BUMN. BUMD, dan perbankan
betul-betul ingin di berantas maka konsep perindungan peniup pelit/informan
harus benar-benar diatur secara komperhensi dalam sebuah undang-undang. Maka
perlindungan terhadap participant whistkeblower/
coperating witness/justice collaborator harus
secara jelas diatur dalam undang-undang. [3]
1.2
Stategi Pemberantasan Korupsi
Upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan
pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan
UU pemberantasan Korupsi. Strategi demikian tentunya lebih bersifat frgmenter,
parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-oleh hanya melihat satu
faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan
korupsi selama ini, yaitu faktor pembaharuan udang-undangan. Padahal jika di
lihat dari sudut kebijaksanaan kriminal, strategi dasar penyalahgunaan
kejahatan ( the basic crime prevention
strategi) seyogiannya diarahkan pada upaya meniadakan (meneliminasi) atau
menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi faktor
kriminogen untuk terjadi kejahatan (korupsi). Jadi, diperlukan
pendekatan/strategi intergral dalam arti,
•
tidak hanya strategi penanggulangan simptomatik dan
reprensif lewat pembaharuan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulanngan
kausatif dan preventif,
•
tidak hanya melakukan ‘law refrom’ tetapi juga sosial
economic, political, maral, and administrative refrom
•
tidak hanya melakukan pembaharuan UU korupsi , tetapi juga
pembaharuan semua peraturan perundangundang yang lain yaitu undang-undang yang
memberikan peluang untuk terjadinnya korupsi/KKN, antara lain di bidang
politik, ekonomi, keuanngan, perbangkan, kesejatrahan sosial, kode etik
proposional dan perilaku pejabat, nirokrasi administratif dan sebagainya.
Strategi intergral demikian diperlukan karena kausa dan
konsisi yang dapat menjadikan peluang timbulnnya korupsi sangan komples,
shingga masalah korupsi sangan kempoles, sehingga masalah korupsi sarat dengan
berbagai komplesitas masalah. Antara lain, masalah sikap mental/moral, masalah
pola/ sikap hidup dan budaya sosial, masalah lingkunngan sosial kesenjangan
sosial ekonomi, masalah kebutuhan /tuntutan ekonomi dan struktur/sistem
ekonomi, masalah sistem/ budaya politik, masalah lemahnya birokrasi/prosedur
administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan
publik. Jadi kausa dan konsis yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi
bisa terjadi di bidang morl, sosial, ekonomi, politik, budaya,
birokrasi/administrasi dan sebagainya. Di samping oitu krupsi, pada hakikatnnya
mengandung aspek yang sangat luas. Korupsi tidak hanya mengandung aspek ekonomi
(yaitu merugikan keungan /perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang
lain), tetapi juga korupsi jabatan, korupsi kekuasaan, korupsi politik, korupsi
nilai-nilai demokrasi, korupsi modal dan sebagainnya. Mengingat aspke yang luas
itu, dan bahkan dimasukkan juga dalam salah satu bentuk transnational crime.
Jadi
korupsi terkait dengan masalah dan ruang gerak yang cukup luas. Oleh karena
itu, apabila upaya penanggulangan korupsi ingin ditempuh lewat penegakan hukum,
maka harus pula dilakukan analisis dan pembenahan intergral terhadap semua
peraturan perundang-udangan yang terkait. Artinya, tidak hanya melakukan
evaluasi dan pembaharuan (reformasi) terhadap UU pemberantasan Korupsi
(Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ) tetapi juga misalnya U
dibidang Tindak Pidana Ekonomi, Perbankan, Perdagangan, Kepabeanan,
Kesejatrahan sosial, politik dan sebagainya. Bahkan tidak hanya membenahi
peraturan untuk mencegah/memberantas terjadinnya tindak pidana korupsi, tetapi
juga membenahi peraturan yang diharpkan mampu mengantisipasi segala aktivitas
setelah terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam resolusi Kongres PBB ke 8/1990
tentang corruption in goverment antara kain direkomendasikan, agar negara
anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya
modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi (improved banking and financial regulations to prevent capital flight ).
Disamping itu, mengungat sifatnya yang tradisional, maka kerja sama regional
dan internasional dalam upaya pemberantasan korusi juga perlu ditingkatkan. Hal
ini diperlukan karena dalam dokumen kongres PBB ke 9 11995 diungkapkan adanya
kesulitan memberantas praktik korupsi sebagai berikut. Di banyak yuridiksi, melakukan dan meneima
suap merupakan suatu tindak pidana. Akan tetapi dalam hubungannya dengan
transaksi tradisional (transnational
transactions) sering hal ini tidak cukup untuk mencegah praktik-praktik
korupsi karena
•
si penyuap sering berapa dalam yuridiksi lain yang sulit di
jangkau oleh UU dari Negara tempat pejabat itu di suap
•
sangatlah sulit menditeksi apakah pembayaran (pemberian
suap, pen) itu telah dilakukan, karena misalnnya melaui transfer elektronik
•
walaupun UU melarang perbuatan demikian namun budaya
komersial (comemercial culture) yang
berlaku di negara pejabat yang bersangkutan mendorong/mendukung praktik-praktik
demikian, baik secara ekspisit maupun implisit.[4]
BAB II
KESIMPULAN
2.1
KESIMPULAN
•
whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan
perusahaan atau institusi tempat dia bekerja. Mengacu ke Amerika Serikat,
setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat
manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom dan Enron, lahirlah
Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 kemudian menjadi payung hukum yang
melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak
akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan
diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang
terjadi
•
tidak hanya strategi penanggulangan simptomatik dan
reprensif lewat pembaharuan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulanngan
kausatif dan preventif,
•
tidak hanya melakukan ‘law refrom’ tetapi juga sosial
economic, political, maral, and administrative refrom
•
tidak hanya melakukan pembaharuan UU korupsi , tetapi juga
pembaharuan semua peraturan perundangundang yang lain yaitu undang-undang yang
memberikan peluang untuk terjadinnya korupsi/KKN, antara lain di bidang
politik, ekonomi, keuanngan, perbangkan, kesejatrahan sosial, kode etik
proposional dan perilaku pejabat, nirokrasi administratif dan sebagainya.
2.2 SARAN
Kita harus melihat segala sesutatu
dari berbagai presoektif yang membuka wawasan untuk menciptakan sebuah
keberhasilan dalam segala, leh karena itu penting untuk pemberantasan korupsi
tidak hanya di lihat dari satu aspek tetapi beberapa aspek untuk pemberantasan
korupsi di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Garner,
Bryan A., ed., Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: Thomson West, Eighth
Edition, 2004
Dr.
H. Siswanto Sunarso, S.H.,M.H.,M.kn Victiminologi dalam Sistem Peradilan Pidana
Jakarta Timur 2012
[1]
Garner, Bryan A., ed., Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: Thomson
West, Eighth Edition, 2004
[2]
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a0ceb9d854d/revisi-uu-perlindungan-saksi-dan-korban-perlu-dipertajam
terahkir di akses 27 januari 2013
[3]
Dr. H. Siswanto Sunarso, S.H.,M.H.,M.kn Victiminologi dalam Sistem Peradilan
Pidana Jakarta Timur 2012 hlm 221-222
[4]
Barda Nawawi Arief Masalah Penegakan
Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan Jakarta 2007 hlm 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar