QUO VADIS
HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM MENGEMBALIKAN MARTABAT DAN PROFESIONALITAS ADVOKAT
SEBAGAI PROFESI YANG TERHORMAT (OFFICIUM
NOBILE)”
By: Gress Gustia Adrian Pah
1.1 Latar Belakang
Advokat
merupakan bagian dari penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum
lainnya. Dalam UU No. 18/2003 tentang Advokat ditegaskan bahwa seorang advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan Advokat sebagai Penegak Hukum ialah
guna memberikan bantuan hukum kepada kliennya yang bersangkutan dengan masalah
hukum yang dihadapi. Kewenangan Advokat adalah sebagai lembaga penegak hukum di
luar pemerintahan. Peranan seorang advokat dalam rangka menuju sistem peradilan
pidana terpadu sangat diperlukan hingga tercapai perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia.[1]
Berdasarkan
profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab menjadikan profesi advokat
dapat memainkan peran signifikan dalam penegakan keadilan, hak asasi manusia
(HAM) dan demokrasi. Profesi advokat berada di garis depan dalam memperjuangkan
kehidupan yang berkeadilan, berperspektif hak asasi manusia dan demokrasi yang umumnya
di negara Indonesia merupakan persoalan mendasar terutama di kalangan kaum
miskin dan yang tergolong tidak mampu. Profesi advokat dihadapkan pada dualisme
yaitu di satu sisi, advokat tidak dapat dipungkiri adanya kebutuhan untuk dapat
terus menjaga eksistensinya, baik dalam sistem kekuasaan kehakiman yang yurisdiksinya
disediakan oleh negara maupun dalam sistem sosial yang legitimasinya diberikan
oleh publik. Di sisi lain, advokat terikat dengan panggilan profesi yaitu
memberikan bantuan hukum dengan Cuma-cuma, terutama kepada kalangan masyarakat
yang secara ekonomi tergolong miskin dan tidak mampu. Hal tersebut ditegaskan
di dalam Pasal 22 Ayat (1) yang menyatakan: ”advokat wajib memberikan bantuan
hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Profesi advokat,
sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal
sekitar 2000 tahun yang lampau, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Fungsi
dan peran advokat dalam penegakan hukum (law
enforcement) dalam praktiknya lebih dekat dengan masyarakat. Namun demikian
diantara para penegak hukum yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat
dalam melaksanakan penegakan hukum terdapat perbedaan yang sangat mengganggu,
khususnya dalam hal hak imunitas yang dalam pelaksanaannya telah mengganggu
fungsi Advokat se laku penegak hukum. dalam Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat (UU Advokat) lebih populer disebut dengan ketentuan imunitas
profesi advokat. Lengkapnya berbunyi “Advokat tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik
untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Profesi
advokat itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat
dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan
hak-hak asasi manusia. Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang
menggeluti profesi advokat kurang menjunjung tinggi idealisme profesi itu sendiri.
Hal ini terjadi, karena faktor di luar dirinya yang begitu kuat, tetapi
terkadang juga karena kurangnya penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap
esensiprofesinya.[2]
Pada
prakteknya, hak imunitas memang kerap “dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat
yang tersangkut masalah hukum. Tepat atau tidak penerapan hak imunitas advokat
dapat diuji merujuk pada norma internasional dan nasional yang berlaku. Yang
pasti, tindakan advokat yang membantu kliennya memenangkan perkara dengan cara
“tidak halal” seperti halnya permasalahan di Berdasarkan laporan polisi, Aling
dijanjikan mendapatkan keringanan hukuman dari seumur hidup menjadi penjara
selama 15 tahun dengan syarat menyediakan dana Rp3 miliar. seorang advokat yang
menjanjikan klien dapat menyelesaikan kasus dengan memberikan honorarium
merupakan pelanggaran kode etik advokat kategori berat. Hal dapat kita ketahui
pada kasus Farhat abasyang memberikan janji pertama belum terealisasi, Farhat
kembali menjanjikan Aling mendapatkan keringanan hukuman dari 15 tahun menjadi
10 tahun penjara dengan syarat menyerahkan uang Rp2 miliar. Farhat berjanji
akan mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kali ke Mahkamah Agung. Aling
sempat mentransfer uang ke rekening milik Farhat dan secara tunai melalui temannya
dalam bentuk mata uang dolar Singapura dengan jumlah total mencapai Rp5,75
miliar.[3]
Selain kasus tersebut dapat kita melihat kembali kasus yang tidak dapat di
lupakan kasus Dr. Todung Mulya lubis, SH,LL.M. sebenarnya dalam melaksanakan
tugas profesi sebagai advokad harus pemberi jasa hukum harus bertindak jujur,
adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; suatu hal yang
telah dilakukan oleh Todung merupakan pelanggaran dalam kode etik advokat,
dalam pasal 6 UU No 18 tahun 2003[4] Kekebalan
advokat terhadap proses hukum dalam mendampingi dan/atau mewakili klien
tidaklah bersifat absolut. Kekebalan advokat adalah bersifat
relatif. Hak imunitas advokat adalah terbatas. Salah seorang advokat, Dr Todung
Mulia Lubis, mengatakan bahwa hak imunitas yang dimiliki advokat terkait posisi
Ali Mazi selaku pengacara PT IndobuilCo harus dilihat secara jelas. Pada saat
(seorang) advokat membela klien diduga ada melakukan tindakan yang bertentangan
dengan undang-undang (hukum pidana misalnya), hal itu tidak berarti advokat
bebas dari tuntutan pertanggungjawaban. Tindakan advokat yang bertentangan
hukum harus pula diproses secara hukum.[5]
Oleh karena permasalahan di atas mengenai hak imunitas
dan permasalahan kode etik Advokat yang membuat masyarakat mulai menurunnya
moralitas dan profesional advokat maka penulis melihat perlu adanya analisis
hukum untuk menyelesaikan permasalahan penegakan korupsi yang terus meresahkan
masyarakat, melalui analisa dan sebuah penelitian berjudul “QUO VADIS HAK IMUNITAS
ADVOKAT DALAM MENGEMBALIKAN MARTABAT DAN PROFESIONALITAS ADVOKAT
SEBAGAI PROFESI YANG TERHORMAT (OFFICIUM
NOBILE)”
Berdasarkan latar
belakang diatas maka dalam penelitian ini difokuskan pada 3 (tiga) permasalahan
yaitu:
1.2 Rumusan masalah
1.2.1.
Apakah implementasi
Undang-Undang No 18 tahun 2003 tentang advokat terhadap Quo Vadis Hak
Imunitas Advokat dalam mengwujudkan advokat sebagai profesi terhormat (officium
nobile) ?
1.2.2
Bagaimana Quo Vadis Hak Imunitas Advokat saat ini di Indonesia?
1.2.3
Bagaimana konsep gagasan merevitalisasi integritas
dan moralitas advokat dalam menjalankan profesinya untuk mewujudkan advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile) ?
BAB
III
PEMBAHASAN
4.1 Implementasi Undang-Undang No 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat Terhadap Quo Vadis Hak Imunitas Advokat Dalam Mengwujudkan Advokat
Sebagai Profesi Terhormat (Officium Nobile).
Banyaknya
fenomena yang terjadi dalam beberapa kasus mengenai Advokat saat ini merupakan
hal yang fenomena yang sangat ironis, profesi advokat sebagai profesi yang
mulia dan profesi yang terhormat. Kejadian-kejadian seperti kasus diatas
sungguh ironis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dinamika organisasi profesi
advokat sangat tinggi, bahkan kerap berujung konflik seperti pemasalahan kasus
Farhat Abas, Todung Mulya Lubis begitupun kasus tindak pindana korupsi suap
pengurusan kasasi kasus pidana penipuan terdakwa Hutomo Wijaya Onggowarsito
yang melibatkan keponakannya, Mario C. Bernardo[6]
dan Susi TA yang terkait dengan kasus Akil[7]. Sehingga dalam perkembangannya selalu
dinamika profesi advokat selalu mengalami pasang surut. Mulai dari perkembangan
istilah bagi profesi ini, sampai yang paling terakhir adalah pembentukan
organisasi advokat yang untuk pertamakalinya dilindungi secara khusus dalam
Undang-Undang Advokat. Undang-Undang ini secara yuridis telah mampu mengatasi
beberapa permasalahan yang selama ini mendera profesi tersebut. Penggunaan istilah Advokat dalam undang-undang telah
mampu ‘memanunggalkan” beragam penggunaan istilah profesi ini sebelumnya,
seperti pengacara praktik, penasehat hukum, pengacara.
Namun
yang paling penting dari penerbitan undang-undang ini adalah mengakui bahwa
Advokat adalah profesi penegak hukum dan menjadi bagian dari catur wangsa.
Posisi yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh advokat dalam praktek hukum
di Indonesia. Advokat selalu menjadi sub-varian dari 3 (tiga) institusi penegak hukum lainnya yakni hakim,
jaksa dan kepolisian. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat ini, secara yuridis formal telah mensejajarkan profesi
advokat dengan profesi penegak hukum
lainnya. Sehingga secara substansi pengakuan ini menjadikan profesi advokat
yang merupakan profesi terhormat (officium
nobile) semakin terlegitimasi.
Dalam
aras ini, advokat adalah public defender,
tentu saja dalam konteks penegakan hukum dan keadilan. Kemuliaan profesi ini berusaha dijaga
sedemikian rupa oleh organisasi-organisasi profesi advokat dengan membentuk
kode etik profesi advokat berdasarkan mandat dari UU no. 18 th 2003 tentang
advokat. Sejatinya selain untuk melindungi advokat dalam menjalankan
profesinya, kode etik profesi advokat ini terlahir adalah untuk melindungi
masyarakat dari perilaku yang tidak patut dari advokat. Pembebanan kewajiban
ini pula yang dibebankan kepada para advokat dalam menjaga citra, martabat dan
kehormatan profesi advokat.
Tinjauan
Atas Dugaan Pelanggaran Kode Etik Advokat dalam kasus pembunuhan Prabangsa
Kembali kepada perilaku-perilaku advokat sebagaimana yang penulis paparkan di
awal. Bila dikaitkan dengan Kode Etik Advokat Indonesia, maka perilaku advokat
dalam perkara pembunuhan Prabangsa sesungguhnya telah bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban bagi seorang advokat sebagaimana yang diatur dalam Kode
etik Advokat Indonesia. Sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Kode Etik
Advokat Indonesia yang menyatakan bahwa”Kode Etik Advokat Indonesia sebagai
hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun
membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya (huruf tebal dari penulis) baik kepada Klien,
Pengadilan, Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Secara
gamblang perilaku tersebut bertentangan dengan roh dari kode etik termaksud
yang mewajibkan seorang advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam
menjalankan profesinya baik kepada Klien, Pengadilan, Negara atau Masyarakat
dan terutama kepada dirinya sendiri.
Frase jujur dan bertanggung jawab dalam profesinya adalah spirit dari
penjabaran ketentuan-ketentuan
berikutnya dalam kode etik ini.
Tentu saja jujur dan bertanggung jawab adalah menjauhkan
tindakan-tindakan tidak terpuji yang dapat merendahkan citra dan martabat serta
mencederai kehormatan profesi advokat sebagai profesi mulia. Frase tersebut
jelas-jelas tidak memberikan tafsir lain kecuali bahwa advokat wajib
mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan. Maka memaknainya adalah
advokat tidak boleh melakukan upaya-upaya yang menyimpang dalam penegakan
dharma hukum tersebut. Terlebih berupaya mengaburkan pembuktian untuk mencari
kebenaran materiil dengan merekayasa dan atau mengarahkan keterangan saksi demi
kepentingan kliennya semata-mata. Justru dalam posisi itu, advokat tersebut
sedang melakukan viktimisasi terhadap korban. mengingat esensi dari penegakan
hukum adalah memberikan keadilan kepada korban dengan proses peradilan yang
obyektif. Viktimisasi terhadap korban adalah pencederaan terhadap hak-hak
korban untuk mendapatkan reparasi. Salah satunya adalah hak korban untuk
mendapatkan keadilan. Pencederaan ini tentu saja bertentangan dengan hak asasi
manusia yang secara tegas menyatakan bahwa hak korban atasreparasi adalah hak
asasi manusia yang tidak boleh diabaikan. Dalam konteks ini maka Advokat
tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat
Indonesia yang menyatakan: “Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas
dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan
hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia”.Hal yang paling prinsip
dalam kasus ini adalah dugaan atas perilaku advokat tersebut bertentangan
dengan Bab VI; Cara Bertindak Menangani Perkara terutama pada pasal 7 huruf e,
Kode Etik Advokat Indonesia yaitu: “Advokat tidak dibenarkan mengajari atau
mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata
atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.” Hal ini berarti bahwa
apapun motif dan kepentingan dibalik tindakan-tindakan yang mengajari atau mempengaruhi
saksi-saksi yang diajukan pihak lawan
tidak dapat dijadikan pembenaran bahkan dijadikan pertimbangan
meringankan sekalipun termasuk dengan alasan dilakukan untuk melindungi
kepentingan klien.
Jika
berbicara mengenai hak imunitas Advokat maka penulis berpendapat berangkat dari
ketentuan Pasal 27 (1) UUD 1945[8],
Seperti yang kita ketahui bahwa advokat juga tunduk pada prinsip-prinsip
kewarganegaraan dan prinsip-prinsip hukum pada umumnya seumpama ketentuan Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas. Oleh karena itu ketika kita melihat pada UU No.: 18/2003 tentang Advokat, di mana
Pasal 16 [9].
Dengan alasan-alasan yang tidak begitu jelas, bunyi pasal ini telah terlanjur
tersosialisasikan di tengah-tengah masyarakat secara tidak lengkap, yakni tanpa
frase: dengan itikat baik. Itu sebabnya, Pasal 16 UU No.: 18/2003 tentang
Advokat secara salah telah dipahami oleh sementara kalangan sebagai aturan yang
memuat ketentuan tentang kekebalan hukum bagi advokat dalam menjalankan
profesinya. Dalam pemahaman penulis
menganalisa bahwa kekebalan hukum dalam
kerangka gagasan rule of law[10],
di mana salah satu unsurnya adalah equality
before the law tentu saja suatu contradictio
in terminis[11] Oleh karena itu,
terasa adanya kebutuhan untuk mengkolerasikan kembali ketentuan Pasal 16 UU No: 18/2003 tentang
Advokat yang berbunyi: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun
pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikat baik untuk kepentingan
pembelaan Kliennya dalam sidang pengadilan.
Secara a
contrario, ketentuan Pasal tersebut mengandung makna bahwa advokat dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana apabila dalam menjalankan tugas
profesinya dengan itikat tidak baik untuk kepentingan pembelaan kliennya dalam
persidangan pengadilan, dan mengenai hak imunitas ini pula yang harus di
berikan sebuah parameter dan batasan yang harus di atur di dalam undang-undang
Advokat sehingga tidak di gunakan para advokat dalam melindungi dirinya untuk
tidak terjerat dengan kasus hukum.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa sikap tentang keberlakuan kode etik profesi dan
hubungannya dengan norma hukum tidak sepenuhnya sebagaimana saya uraikan di
atas. Sebagian karena ketidak-pahaman, akan tetapi sebagian besar karena faktor
kepentingan riel. Dalam kenyataannya, kode etik tidak jarang digunakan justru
sebagai sarana untuk menghindari pemberlakuan norma hukum di bidang yang
menjadi ranah keberlakuan kode etik yang bersangkutan. Dengan kerangka berpikir
seperti itu, penulis berpandangan untuk melanjutkan upaya memperkarakan para
advokat tersebut di atas, baik pada ranah hukum pidana maupun pada ranah hukum
perdata. Bukan atas nama hasrat pribadi semacam amarah ataupun dendam,
melainkan lebih pada semacam upaya untuk memperlihatkan betapa di tengah-tengah
kita masih terdapat hal-hal yang bersifat problematik namun selama ini praktis
terabaikan, disengaja ataupun tidak disengaja.
4.2 Quo Vadis Hak
Imunitas Advokat saat ini di Indonesia
Ketentuan
dalam pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) lebih
populer disebut dengan ketentuan imunitas profesi advokat. Lengkapnya berbunyi “Advokat
tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas
profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang
pengadilan.” Pasal 16 UU Advokat berakar pada beberapa norma yang berlaku
universal. Merujuk pada buku “Advokat Mencari Legitimasi” terbitan Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia yang didukung oleh The Asia Foundation, setidaknya ada tiga norma internasional yang
memuat ketentuan imunitas profesi advokat. Pertama, Basic Principles on the
Role of Lawyers yang merekomendasi kepada negara-negara anggota PBB untuk
memberikan perlindungan terhadap advokat dari hambatan-hambatan dan tekanan
dalam menjalankan fungsinya. Kedua, International Bar Association Standards.
Pada butir delapan disebutkan “seorang advokat tidak boleh dihukum atau
diancam hukuman, baik itu hukum pidana, perdata, administratif, ekonomi maupun
sanksi atau intimidasi lainnya dalam pekerjaan membela dan memberi nasehat
kepada kliennya secara sah”. Ketiga, Deklarasi yang
dibacakan pada World Conference of the Independence of Justice di
Kanada, 1983. Dalam Deklarasi dinyatakan bahwa harus ada sistem yang adil dalam
administrasi peradilan yang menjamin independensi advokat dalam melaksanakan
tugas profesionalnya tanpa adanya hambatan, pengaruh, pemaksaan, tekanan,
ancaman atau intervensi.
Dari ketiga
norma internasional di atas, benang merah yang dapat disimpulkan adalah hak
imunitas ini semata bertujuan untuk melindungi advokat dalam menjalankan fungsi
profesinya, khususnya terkait pembelaan dan pemberian nasehat kepada klien.
Hal ini secara tegas juga disebutkan dalam pasal 16 UU Advokat, khususnya pada
frasa “….dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk
kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Dibandingkan tiga
norma internasional yang disebutkan tadi, pasal 16 UU Advokat “mempersempit”
lingkup tindakan advokat yang dapat dilindungi yakni “tindakan dalam sidang
pengadilan”. Pada bagian penjelasan, “dalam sidang pengadilan” didefinisikan “sidang
pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan”.
Pada frasa
itu juga dicantumkan satu syarat penting bilamana hak imunitas dapat diterapkan.
Syarat itu adalah itikad baik. Penjelasan pasal 16 UU Advokat menyatakan
“itikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Dari paparan
di atas, dapat disimpulkan bahwa hak imunitas memang dibutuhkan, tetapi
penggunaannya tidak bisa sesuka hati. Norma internasional maupun nasional
menyebutkan beberapa syarat definitif yang harus dipertimbangkan dalam
penggunaan hak imunitas. Dua syarat yang utama adalah tindakan advokat
tersebut terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi profesinya. Selain
itu, tindakan itu juga harus didasari itikad baik yang secara sederhana
dapat didefinisikan “tindakan yang tidak melanggar hukum”. Pada prakteknya,
hak imunitas memang kerap “dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat yang
tersangkut masalah hukum. Tepat atau tidak penerapan hak imunitas advokat dapat
diuji merujuk pada norma internasional dan nasional yang berlaku. Yang pasti,
tindakan advokat yang membantu kliennya memenangkan perkara dengan cara “tidak
halal” (baca: melanggar hukum) tidak dapat berlindung di balik hak imunitas
advokat.
.4.3
konsep gagasan merevitalisasi integritas dan moralitas advokat dalam
menjalankan profesinya untuk mewujudkan advokat sebagai profesi terhormat (officium
nobile)
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, membuat kebutuhan akan jasa
hukum semakin meningkat. Begitu juga dengan meningkatnya permasalahan dalam
masyarakat, baik publik maupun privat mengakibatkan kebutuhan akan jasa hukum
seorang advokat juga semakin tinggi. Advokat merupakan profesi terhormat (officium
nobile) yang dalam menjalankan profesinya seorang advokat harus memiliki
kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang
berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan,
guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa Indonesia saat ini mempunyai advokat dalam jumlah yang cukup
besar yang berasal dari berbagai pelosok di Indonesia. Jumlah advokat yang
sangat besar ini menuntut adanya dewan etika yang dapat mengawasi perilaku dan
etika seorang advokat. Menurut Bertens, kode etik profesi merupakan norma yang
ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi
petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan berperilaku
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Dalam kode etik
advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik Advokat Indonesia
merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan
melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan,
negara, UUD, lawan berperkara, rekan advokat atau masyarakat dan terutama
kepada dirinya sendiri. Advokat sebagai profesi hukum (officium nobile)
dalam menjalankan profesinya harus menjaga citra dan martabat kehormatan
profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi. Namun, Advokat Indonesia saat ini justru
mengalami penurunan kualitas dan moralitas dibandingkan dengan advokat-advokat
senior yang dahulu masih aktif dan berjuang pada era Orde Baru dan Orde Lama.
Pada saat itu advokat masih berjuang dengan hati nurani, objektif dan berpegang
pada prinsip-prinsip hukum yang ada. Sekarang advokat banyak yang terlibat
dalam korupsi yudisial.
Apa yang terjadi
dengan kondisi dewan kode etik saat ini? Dewan kode etik yang saat ini ada
hanyalah dewan kehormatan advokat yang dimiliki oleh Peradi, namun melihat
konsep wadah tunggal ini apakah adil apabila seorang advokat yang dianggap
melanggar kode etik kemudian diperiksa hanya oleh dewan kehormatan Peradi tanpa
adanya pengawasan dalam dewan kehormatan tersebut. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para
advokat semakin banyak terjadi, namun pelanggaran-pelanggaran tersebut masih
saja dibiarkan oleh dewan kehormatan. Sebagai contoh, advokat yang setelah
membela seorang klien ketika sedang berperkara kemudian dengan mudahnya
berpindah dengan membela seorang klien yang sebelumnya pernah menjadi lawannya.
Hal ini secara etis tentu saja tidak dapat dibenarkan karena akan menimbulkan
conflict of interest. Padahal kode etik advokat itu adalah suatu hal yang
sangat prinsipal sehingga setiap advokat harus memperoleh pengetahuan lebih
dari sekadar pengetahuan di universitas mengenai praktik advokat khususnya
sekarang adalah mengenai kode etik advokat. Konflik berkepanjangan antarorganisasi profesi
advokat melahirkan persaingan tidak sehat antaradvokat. Mereka hanya mengejar
profit semata tanpa melihat supremasi hukum dan keadilan. Organisasi advokat
saat ini lebih mengejar kuantitas dengan melahirkan sebanyak mungkin advokat
dari organisasinya tanpa adanya kurikulum berkualitas dan teruji
standarisasinya sehingga output yang dihasilkan pun pantas diragukan. Itulah
sebabnya komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak
diperbolehkan. Akibat komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat,
kualitas advokat patut dipertanyakan. Hal ini berdampak pada tidak berdayanya
organisasi advokat mengurangi praktek korupsi yudisial yang melibatkan
advokat-advokat yang menjadi anggotanya. Penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan
ujian advokat tidak boleh dimonopoli, justru penyelenggaraan kursus (pelatihan)
dan ujian advokat dilakukan bersama-sama negara dan pihak-pihak terkait lainnya
yang ditunjuk negara.
Melihat
kenyataan di atas sekarang sudah tiba waktunya setelah 8 tahun lebih UU advokat
diundangkan dan melihat keributan-keributan dan perselisihan yang terus-menerus
di tubuh organisasi advokat, maka UU advokat perlu diamandemen dengan mengatur
kursus (pelatihan) dan ujian advokat lebih tertib dan teratur disertai
pengawasan yang ketat agar tidak terjadi komersialisasi dengan mengikutsertakan
negara c.q. Mahkamah Agung RI dan pihak-pihak terkait. Konsep wadah tunggal
yang mulai dicetuskan sejak jaman Orde Baru sudah usang dan tidak dapat
dipertahankan lagi karena gagal total. Konsep wadah tunggal adalah inisiatif
pemerintah Orde Baru yang korporatis dan ingin mengontrol advokat dalam satu
organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada 4 organisasi advokat
yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu IKADIN, AAI, PERADI dan KAI. Tidak
aneh karena konsep wadah tunggal yang sifatnya top down dan bukan aspirasi
advokat Indonesia, akhirnya menimbulkan gelombang protes dari para advokat
setelah diundangkannya UU advokat sejak tahun 2003 dan aksi protes serta
gugatan ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai nanti ada penyelesaian
melalui Kongres advokat Indonesia dan amandemen UU Advokat. Organisasi advokat menjadi tidak fokus pada
peningkatan mutu dan kualitas advokat serta pemberantasan korupsi yudisial,
karena organisasi advokat yang tidak solid dan ribut terus menerus. Kursus
(pelatihan) advokat, ujian advokat, CLE (Continuing Legal Education),
rekrutmen, pelatihan, penyumpahan, kurikulum pendidikan advokat dan lain-lain
akan terbengkalai dan akan berakibat kepada mutu pelayanan dan pemberian jasa
hukum (legal services) kepada masyarakat c.q. para pencari keadilan menjadi
rendah dan berbagai pelanggaran kode etik tidak ditanggulangi sebagaimana
seharusnya. Padahal apabila organisasi
profesi advokat di Indonesia mempunyai manajeman organisasi berkualitas yang
dapat melahirkan advokat-advokat berkualitas dan berbakat, maka hal ini justru
akan semakin meningkatkan mutu putusan dan membantu hakim-hakim dalam memutus
perkara.
Hakim akan lebih
mudah mengambil keputusan dalam setiap perkara apabila dihadapkan dengan
advokat-advokat berkualitas dan berbakat dengan mengambil argumen hukum
berkualitas yang diberikan oleh advokat tersebut. Proses peradilan dalam hal
ini oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem hukum Civil Law disebut
Investigation by magistrate. Dengan ini diharapkan putusan yang diambil oleh
hakim akan menjadi baik dan adil jika advokatnya pun baik dan berkualitas.
Namun yang terjadi saat ini adalah mutu putusan pengadilan merosot, sering kali
tidak adil dan tidak bermutu, dimana tidak sedikit advokat-advokat yang justru
terlibat dalam Korupsi Yudisial dalam hampir setiap proses peradilan. Hal ini
menunjukkan betapa merosotnya kualitas advokat di Indonesia.[12]
Langkah yang
diperlukan untuk meningkatkan mutu dan pengawasan profesi advokat adalah dengan
membentuk Dewan Etika Profesi Advokat Nasional oleh organisasi-organisasi
profesi advokat yang ada di Republik Indonesia yang bertujuan untuk melakukan
pengawasan perilaku dan penegakan kode etik profesi advokat secara efektif,
serta penindakan terhadap advokat yang berasal dari organisasi manapun yang
melanggar kode etik profesi advokat. Dewan ini akan melibatkan tokoh
masyarakat, budayawan, advokat-advokat senior yang berintegritas, mantan hakim
dan jaksa kredibel dan tokoh-tokoh dari berbagai organisasi profesi advokat dan
anggota dari organisasi penegak hukum. Organisasi-organisasi advokat kelak akan
membentuk Komite Etik untuk melakukan fit and proper test terhadap tokoh-tokoh
masyarakat, budayawan, advokat, mantan hakim, mantan jaksa dan tokoh-tokoh
lainnya yang mempunyai kredibilitas dan integritas yang layak untuk menjadi
anggota Dewan Kode Etik Profesi Advokat.
Dengan adanya
Dewan Etika Profesi Advokat Nasional ini maka dapat dihindari adanya advokat
“kutu loncat” baik yang terkena teguran, sanksi skorsing (pemecatan sementara)
maupun pemecatan seumur hidup, namun masih tetap bisa berpraktik di Pengadilan
dengan berpindah ke organisasi advokat lain karena putusan-putusan dewan
kehormatan organisasi advokat tidak ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh
seluruh lembaga peradilan di seluruh Indonesia, seperti pengadilan negeri,
pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara. Hal ini untuk mengikis
semangat “esprit de corps”. Advokat
harus benar-benar profesional dan tidak menggunakan organisasi sebagai tameng
untuk berlindung dari pelanggaran kode etik. Dengan ini etika profesi advokat
akan dapat ditegakkan dan advokat lebih diawasi secara ketat dan tegas. Penulis
berpendapat Dewan advokat daerah fungsi
sebagai regulator, mengawasi pendidikan, pengawasan dan kode etik advokat juga
harus di dan di bentuk di daerah. BAB IV
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1.
Implementasi Undang-Undang No 18 tahun 2003 tentang
advokat terhadap Quo Vadis Hak Imunitas Advokat dalam mengwujudkan advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile) ternyata dalam
perjalannya tidak sesuai dengan semangat lahirnya Undang-Undang Advokat
tersebut, hal ini di sebabkan banyaknya permasalahan yang kerap terjadi antara
organisasi Advokat sendiri sehingga dalam perjalannanya Undang-undang Advokat
tersebut, tidak dapat mencerminkan advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile).
4.1.2 Quo Vadis Hak Imunitas
Advokat saat ini di Indonesia hak imunitas memang
kerap “dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat yang tersangkut masalah hukum. Tepat atau tidak penerapan hak imunitas
advokat dapat diuji merujuk
pada norma internasional dan nasional yang berlaku.
Yang pasti, tindakan advokat yang membantu kliennya memenangkan perkara dengan cara “tidak halal” (baca: melanggar
hukum) tidak dapat berlindung
di balik hak imunitas advokat
4.1.3 Konsep gagasan
merevitalisasi integritas dan moralitas advokat dalam menjalankan profesinya untuk mewujudkan advokat sebagai
profesi terhormat (officium
nobile) maka UU
advokat perlu diamandemen dengan mengatur kursus (pelatihan) dan ujian advokat
lebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadi
komersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah Agung RI dan
pihak-pihak terkait. Konsep wadah tunggal yang mulai dicetuskan sejak jaman
Orde Baru sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi karena gagal total.
Konsep wadah tunggal adalah inisiatif pemerintah Orde Baru yang korporatis dan
ingin mengontrol advokat dalam satu organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak
sekarang ada 4 organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu
IKADIN, AAI, PERADI dan KAI. Tidak aneh karena konsep wadah tunggal yang
sifatnya top down dan bukan aspirasi advokat Indonesia, akhirnya menimbulkan
gelombang protes dari para advokat setelah diundangkannya UU advokat sejak
tahun 2003 dan aksi protes serta gugatan ini diperkirakan akan terus berlanjut
sampai nanti ada penyelesaian melalui Kongres advokat Indonesia dan amandemen
UU Advokat.
4.2
Saran
1.
Untuk mendukung hasil penelitan mengenai
pemahaman hak imunitas advokat maka perlu adanya penelitian lanjutan dalam
bentuk melakukan terhadap kasus-kasus dalam hal mana pelakunya atau tersangka
atau terdakwanya adalah advokat yang terlibat dugaan tindak pidana pada saat
melaksanakan tugas profesinya.
2.
Diperlukannya adanya suatu forum bersama
antara para penegak hukum termasuk organisasi-organisasi advokat untuk
menyeragamkan pemahaman mengenai hak imunitas advokat
DAFTAR
BACAAN
Frans
Hendra Winarta, 200, Bantuan Hukum, Suatu
Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan,
Jakarta, PT. Elex Media Computindo Kelompok Gramedia
C.S.T.
Kansil, Crhristine S.T. 2006 Kansil, Pokok-Pokok
Etika Profesi Hukum, Jakarta:
Pradnya Paramita,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai
B. Arief Sidharta, 2004 “Kajian
Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera
(Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II
Muladi
(editor), 2005, Hak Asasi Manusia,
Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, Jakarta, PT Refika Aditama
Luhut M.P. Pangaribuan, 1996Advokat
dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan
Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta
Harlen
Sinaga V2011 ,Dasar-Dasar Profesi Advokat,Erlangga,2011,Jakarta
Ilham
Gunawan dan Martinus Sahrani, 2003 Kamus Hukum (Cet.I; Jakarta: Restu Agung, 2002). UU Advokat
Indonesia (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Abdullah Gofar, Profesi Advokat bagi Sarjana Syariah dan
Standar Kualifikasi Bidang Hukum dalam
Mimbar Hukum No.61 Mei 2003 (Jakarta:
al- Hikmah dan Ditbinpera
INTERNET
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/01/063501543/Terkait-Suap-MA-Hotma-Sitompoel-Diperiksa-KPK
terahkir di akses 10 Desember 2013 Pukul
21:11 WIB
http://id.berita.yahoo.com/siapa-susi-ta-advokat-yang-terkait-kasus-akil-160230396.html
Terahkir di Akses 10 Desember 2013 Pukul 21:14 WIB
http://siburiandanrekan.com/id/?page_id=22
terakhir di akses pada tanggal 13 Desember 2013 pada pukul 22.35 WIB
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/06/1/159564/Peradi-Farhat-Abbas-Langgar-Kode-Etik-Advokat
terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
http://latihanetikaprofesi.blogspot.com/2013/04/etika-profesi-pada-kasus-todung-mulya.html
terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=158418
terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=896
terakhir diakses hari Rabu, 13 Movember 2013 pukul 22.41 WIB
http://mtaufiq-advokat.blogspot.com/2010/03/eksistensi-dan-hak-imunitas-advokat.html.
terakhir diakses hari Rabu, 13 Movember 2013 pukul 23.05 WIB
[1] Muladi
(editor), 2005, Hak Asasi Manusia,
Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat,
Jakarta, PT Refika Aditama, hlm. 22.
[2] Frans Hendra Winarta, 200, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan
Belas Kasihan, Jakarta, PT. Elex Media Computindo Kelompok Gramedia, hlm
[3] http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/06/1/159564/Peradi-Farhat-Abbas-Langgar-Kode-Etik-Advokat
terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
[4] http://latihanetikaprofesi.blogspot.com/2013/04/etika-profesi-pada-kasus-todung-mulya.html
terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
[5] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=158418
terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
[6] http://www.tempo.co/read/news/2013/08/01/063501543/Terkait-Suap-MA-Hotma-Sitompoel-Diperiksa-KPK
terahkir di akses 10 Desember 2013 Pukul 21:11 WIB
[7] http://id.berita.yahoo.com/siapa-susi-ta-advokat-yang-terkait-kasus-akil-160230396.html
Terahkir di Akses 10 Desember 2013 Pukul 21:14 WIB
[8] Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
[9] Advokat tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan
itikat baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya dalam sidang pengadilan.
[10] B. Arief
Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat
Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, Desember 2004, hal.124
[11] Ibid
[12] http://www.jurnas.com/news/88301/RUU_Advokat_Kerdilkan_Profesi_Advokat/1/Nasional/Hukum
terahkir di akses 14 Desember 2013 Pukul 23:52 WIB