PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PIDANA, PERADILAN MAUPUN SANKSI YANG TEDAPAT DI NEGARA BELANDA DENGAN
INDONESIA
By Gress Gustia Adrian Pah
Latar Belakang
Salah satu
tujuan dalam perbandingan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah dalam rangka
pelaksanaan pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum dilakukan dengan mencari
referensi sebanyak mungkin dari negara dengan sistem hukum yang sama maupun
dari sistem hukum yang berbeda. Dalam rangka pembangunan hukum, diperlukan
terlebih dahulu adanya perencanaan hukum (legal planning) yang dapat
menampung segala kebutuhan dalam suasana perubahan-perubahan sosial atau
dinamika masyarakat. Namun sebagaimana dikatakan oleh Sunaryati Hartono, “Legal
Planning” itu bukan pekerjaan yang mudah. Harus terlebih dahulu kita
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang sistem hukum masing-masing
Negara. Di sinilah letak perlunya Perbandingan Hukum (Comparative Law).
Dengan perbandingan hukum, khususnya hukum pidana akan memperluas cakrawala
berpikir serta memberi kesadaran kepada perencana atau pelaksana pembangunan
hukum itu bahwa bagi setiap masalah hukum terbuka lebih dari hanya satu cara
untuk mengatasinya. Apalagi dalam perkembangan kehidupan masyarakat modern
sekarang ini. Akibat kemajuan teknologi, jarak-jarak antar negara semakin
rapat, hubungan komunikasi semakin cepat, maka setiap negara akan cenderung
memperbandingkan dirinya dengan negara lain, dengan maksud untuk memelihara
keseimbangan dan harmonisasi antar negara sehingga tujuan nasional
masing-masing dapat tercapai.Banyak sekali Negara yang merubah hukum pidannya
demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakat, ada pula yang
merombak total dan menciptakan yang baru, ini seperti dilakukan oleh Negara
Belanda. Dan dalam tulisan ini, akan dikupas tuntas mengenai perbandingan hukum
pidana Negara Indonesia, dengan hukum pidana Negara Belanda. Perbandingan hukum
(Rechtsvergelijking), khususnya perbandingan hukum pidana Indonesia dan Belanda
pada dasarnya menunjukkan suatu rangkaian kegiatan membanding-bandingkan sistem
hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain; dengan perkataan lain
membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu
sistem (stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain.
Prinsip
dasar untuk membandingkan sesuatu adalah mencari persamaan dari kedua objek
yang akan dibandingkan. Dari dua objek yang memiliki kesamaan tersebut kemudian
dibandingkan untuk mencari perbedaan diantara keduanya. Di dalam
mempelajari perbandingan hukum pidana, tidak hanya dipelajari tentang
perbandingan hukum pidana materiilnya saja, melainkan juga perbandingan dalam
hukum pidana formilnya. Perbandingan hukum pidana tidak hanya membandingkan
prosedurnya melainkan juga membandingkan keberadaan lembaga pelaksana prosedur
tersebut. Perbandingan hukum pidana materiil mempelajari tentang perbandingan
prinsip dasar hukum pidana antara satu negara dan negara lain, perbandingan
sistem pemidanaan negara satu dengan yang lain serta membandingkan pengaturan
perbuatan yang dilarang antara satu negara dengan negara lainnya. Sedangkan perbandingan hukum pidana formil
membandingkan tentang pengaturan peraturan perundang-undangannya, lembaga
penegak hukumnya serta proses dalam sistem peradilan pidananya. Selain hal di
atas, hukum pidana formil juga mempelajari serta mengatur bentuk-bentuk dan
jangka waktu yang mengikat bagi pemberlakuan hukum pidana materiil. Dari latar belakang
di atas maka terddapat rumusan masalah sebagai berikut.
1.1 Rumusan Masalah
1.1.1
Apa perbedaan KUHP Negara Belanda
dan Negara Indonesia?
1.1.2
Apakah perbedaan dan persamaan
sistem hukum pidana, peradilan maupun sistem sangsi yang terdapat di Negara
Belanda dengan Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERBANDINGAN SISTEM PERUMUSAN KUHP BELANDA
DAN INDONESIA
Pidana materiil merupakan keseluruhan peraturan
hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan
dimana pidana itu seharusnya menjelma, Simoans merumuskan pengertian mengenai
pidana materiil ini sebagai petunjuk dan uraiaan tentang delik, peraturan
tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang
yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, mengatur kepada siapa dan
bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.[1]
Dalam substansi pidana materiil tersebut sudah barang tentu antar negara berbeda sifat
dan berbeda jenis sanksi dan aturan yang terkandung di dalamnya sebab antar
negara mempunyai kultur yang berbeda satu dengan yang lainnya.perbedaan ini
bisa dipengaruhi oleh kultur yang berupa hukum adat yang berlaku di dalam
masyarakat dan dipositifisasi oleh negara dan dijadikan sebagai hukum positif
yang berlaku di masyarakat maupun oleh siklus keadaan bekas jajahan sehingga
berdampak pada penerapan hukum dari negara bekas jajahan.
Penerapan
kebudayaan Indonesia kedalam aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia sudah
barang tentu menjadi hal yang biasa dan mudah untuk diterapkan sebab ada kecenderungan
masyarakat untuk taat dan tunduk terhadap aturan yang direduksi dari kebudayaan
yang telah hidup dan berkembang di masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu
menyesuaikan aturan dengan kehidupan sehari-hari karena masyarakat sudah
terbiasa dengan adanya kebudayaan tersebut
Berbeda dengan aturan yang mereduksi dari
kultur masyarakat sendiri, aturan yang dibuat oleh negara penjajah tentu
menjadi hal yang sangat susah untuk diterapkan walaupun masyarakat sudah
berusaha untuk memahami dan mencoba untuk beradaptasi, tapi kemudian hal ini
bertentangan dengan jiwa masyarakat bekas negara jajahan yang basicnya pun
sudah berbeda dengan jiwa negara penjajah. Oleh sebab itu penting kiranya
mempelajari bagaimana perbedaan antara negara penjajah dengan negara yang
dijajah dalam hal penerapan hukum.
Perbedaan antara negara penjajah dan negara
bekas jajahan dalam makalah ini dispesifikkan antara negara Indonesia dengan
negara Belanda mengingat kultur masyarakat Indonesia sangat jauh berbeda dengan
hukum yang dibawa belanda ke Indonesia, dan hal ini menjadi rancu ketika terus
menerus memaksakan kehendak untuk mengadopsi hukum belanda ke dalam aturan yang
mengatur masyarakat Indonesia melalui Kitab Undang-undang hukum pidana atau het
wetboek van Strafrecht voor Nederlansch. Berikut adalah perbedaan antara konsep
KUHP negara Indonesia dengan belanda:
A.
KUHP di negara Indonesia
Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum
Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut
sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23
Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon
menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal
standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi.
Juga mengatur ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga
terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law -
Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama
sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya
pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan
sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan
bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam
dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum
Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk
meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional
Akan tetapi dalam sistem hukum yang terdapat
dala Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) berbeda dengan penerapan sistem
anglo saxon, sebab Indonesia mengadopsi sistem Civil law hal ini ditandai
dengan adanya kodifikasi hukum berupa KUHP, yang terdiri atas 569 pasal yang
dapat dibagi menjadi:
1.
Buku I : memuat
mengenai ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leersstrukken)- Pasal 1-103
2. Buku
II : mengatur tentang tindak
pidana kejahtan (Misdrijven) – Pasal 104 - 488
3.
Buku III : mengatur tentang tindak pidana
pelanggaran (overstredingen) – Pasal 489 – 569
Sistem hukuman
dalam KUHP tercantum dalam pasal 10 yang menyatakan bahwa hukuman yang dapat
dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana sebagai berikut:
1. Hukuman pokok (Hoofd straffen)
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
2. Hukuman tambahan (Bijkomende straffen)
a.
Pencabutan beberapa hak tertentu
b. Perampasan
barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam
ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Akan tetapi kalau diperhatikan
benar-benar maka kesederhanaannya menjadi kurang. Hal ini karena sistemukum
yang kelihatan sederhana dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan sifat
objektif hukuman yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat
kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidanyanya saja. Hal inilah yang
kemudian sering menimbulkan pertentangan pendapat antar para ahli hukum sarjana
hukum [2].
Alasan pemakaian hukuman mati dalam KUHP ini dikarenakan keadaan di Indonesia
dengan ribu-ribu pulau , beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang
mencukupi jadi perlu pidana yang berat[3]
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP
mengandung di dalamnya asas
“legalitas formal”, asas “lex
certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam
tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan
Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus
mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau
bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan
undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine
lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan
(pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan
seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif
menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat
diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh
karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak
ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
(a) “nullum crimen, nulla poena sine lege
scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten
law--) ;
(b)
“Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan
analogy) ;
(c) “Nullum crimen, nulla poena sine lege
praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut) ;
(d) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa”
(larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).[4]
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP
Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids).
Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak
bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas
terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan
kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang
terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana
perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka
terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya[5]
2.2 KUHP di
negara Belanda
Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi
sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai
merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system
hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut
maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan
Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil
Law System).
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi
hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal
Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke
19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada
masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan
Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes
Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum
pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh,
Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP
belanda tidak dicantumkan hukuman mati. Dan terdapat pidana tambahan yang ada
dalam KUHP belanda ini yakni pada Pasal 10 yaitu penempatan di tempat kerja
negara.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan
tuntutan kemajuan teknologi dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik
mukah (overspel) telah dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal
239 yang sepadan dengan Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti
dengan”di tempat yang menjadi lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam
kamar tidur rumah sendiri bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang
menghadap ke jalan umum, berarti di depan umum karena dapat dilihat oleh orang
yang lewat jalan tersebut. Tetapi jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda
perbuatan semacam itu, karena tempat tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang
menjadi lalu lintas umum
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada
kategori, dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut
dicantumkan maksimum denda. Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23 Korporasi
(badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP belanda sejak Tahun 1976 yang
dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda, karena tidak mungkin dipakai
hukuman penjara. Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga
alternatif/kumulatif denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap
keamanan negara, tidak terkecuali makar terhadap negara
Karena pengaruh dari hukum pidana modern, yang
mengatakan bahwa jika suatu perbuatan merupakan delik tetapi secara sosial
kecil artinya maka tidaklah perlu dijatuhkan pidana atau tindakan, menjelma
dalam sisipan KUHP belanda 1984 Pasal 8a. “jika
hakim menganggap patut berhubung dengan kecilnya arti suatu perbuatan,
kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu
pula sesudah perbuatan dilakukan, ia menentukan dalam putusan bahwa tidak ada
pidana atau tindakan yang akan dikenakan”
Salah satu tujuan dalam perbandingan hukum
menurut Soerjono Soekanto adalah dalam rangka pelaksanaan pembaharuan hukum.
Pembaharuan hukum dilakukan dengan mencari referensi sebanyak mungkin dari
negara dengan sistem hukum yang sama maupun dari sistem hukum yang berbeda.
(Munir Fuady, 2007: 22)
Di dalam mempelajari perbandingan hukum pidana,
tidak hanya dipelajari tentang perbandingan hukum pidana materiilnya saja,
melainkan juga perbandingan dalam hukum pidana formilnya. Perbandingan hukum
pidana materiil mempelajari tentang perbandingan prinsip dasar hukum pidana
antara satu negara dan negara lain, perbandingan sistem pemidanaan negara satu
dengan yang lain serta membandingkan pengaturan perbuatan yang dilarang antara
satu negara dengan negara lainnya. Perbandingan hukum pidana formil
membandingkan tentang pengaturan peraturan perundang-undangannya, lembaga
penegak hukumnya serta proses dalam sistem peradilan pidananya.
Prinsip dasar untuk membandingkan sesuatu
adalah mencari persamaan dari kedua objek yang akan dibandingkan. Dari dua
objek yang memiliki kesamaan tersebut kemudian dibandingkan untuk mencari
perbedaan diantara keduanya.
Belanda dibandingkan dengan Indonesia dengan
berbagai pertimbangan, diantaranya adalah karena Belanda memiliki kesamaan
sistem hukum Indonesia, bahkan hukum pidana materiil Indonesia juga masih
mempergunakan hukum pidana materiil pada era Belanda.[6]
Ada empat hal yang menjadi kriteria pembanding
yaitu:
1. Pengaturan hukum pidana formil;
2. Lembaga penegak hukum;
3. Proses dalam sistem peradilan pidana.
Persamaan
sistem peradilan pidana Indonesia dan
Belanda
Sebelum melihat perbedaan antara sistem
peradilan pidana Indonesia dan Belanda,
baiknya untuk mengetahui persamaan
antara sistem peradilan pidana Indonesia dan Belanda.
1. Pengaturan
hukum acara terkodifikasi dalam suatu
kitab undang-undang, yaitu KUHAP dan Wetboek van Strafvordering;
2. Pengaturan
tentang kewenangan masing-masing lembaga
juga diatur di dalam undang undang tersendiri, misal di Indonesia dengan UU
Kepolisian, UU Kejaksaan dll, di Belanda terdapat Wet Bijzondere
Opsporingsbevoegdheden (BOB) atau yang juga dikenal dengan The Special Powers
of Investigation Act dll.
3. Adanya
lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan
dan advokat;
4. Adanya
pembagian daerah hukum seperti
pengadilan negeri dan kejaksaan negeri;
5. Adanya
kesamaan dalam proses penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan persidangan,
banding, kasasi dan eksekusi.
Perbedaan
sistem peradilan pidana
Indonesia dan Belanda Perbedaan antara sistem
peradilan pidana Indonesia dan Belanda dalam pembahasan ini dilihat dari kriteria kewenangan lembaga
penegak hukumnya dan proses dalam sistem peradilan pidananya. Walaupun memiliki
lembaga penegak hukum yang sama, namun
dalam kewenangannya memiliki perbedaan yang cukup besar, termasuk di dalamnya adalah dalam proses sistem peradilan
pidananya
Perbedaan
Kepolisian Indonesia dan Belanda
Kepolisian Indonesia dibagi ke dalam 33
regional (sesuai dengan propinsi/
POLDA), kemudian masing-masing regional
dibagi lagi ke dalam satuan kabupaten/ kota (POLRES) dan masing-masing POLRES
dibagi lagi ke dalam satuan Kecamatan (POLSEK). Kepolisian di Belanda dibagi ke dalam 25
(dua puluh lima) regional dan satu polisi
nasional, dengan berbagai macam divisi pembantu. Pembagian wilayah tersebut
tergantung banyak faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat kejahatan dan
kepadatan gedung. Tiap-tiap regional dibagi lagi ke dalam beberapa wilayah dan
divisi.
A. Struktur
Organisasi:
• Indonesia : Non departemen dan langsung berada
dibawah presiden
• Belanda
: Berada di bawah kementrian
hubungan internal dan kementrian kehakiman
B. Fungsi
Utama Terkait Sistem Peradilan Pidana:
• Indonesia : Penyelidikan dan Penyidikan
• Belanda : Penyidikan (tidak dibedakan antara
penyelidikan dan penyidikan)
C. Hubungan
antar Lembaga dalam melakukan fungsi tersebut:
• Indonesia : Berkoordinasi dengan kejaksaan dan
Kehakiman
• Belanda : Di bawah perintah kejaksaan
D. Kewenangan
Untuk Menghentikan Penyidikan:
• Indonesia :Terbatas berdasarkan Undang-Undang
• Belanda : Tidak terbatas
2.3 Perbedaan
Pengadilan Indonesia dan Belanda
Di Indonesia struktur pengadilan tertinggi
berada di Mahkamah Agung, dimana
Mahkamah Agung merupakan muara dari semua
perkara baik perkara yang diperiksa oleh Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara maupun Peradilan Agama. Seperti halnya
kejaksaan, pengadilan di Indonesia juga dibagi ke dalam 33 regional (sesuai
dengan propinsi/ Pengadilan Tinggi), kemudian masing-masing regional dibagi
lagi ke dalam satuan kabupaten/ kota (Pengadilan Negeri).
Di Belanda Terdiri dari 19 (sembilan belas)
pengadilan wilayah, 5 (lima) pengadilan banding dan satu Mahkamah Agung. Selain
itu, Belanda juga mengenal satu bagian
dari lembaga peradilan, yaitu pengadilan
khusus (special tribunal) yang memiliki yurisdiksi khusus berkaitan dengan
hukum administrasi.
A. Pengadilan
superior dan inferior (strata tingkat pengadilan dari yang paling tinggi):
• Indonesia :
Mahkamah Agung; Pengadilan Tinggi; Pengadilan Negeri
• Belanda :Mahkamah Agung; Pengadilan Banding;
Pengadilan Magistrate.
B. Pembagian
Pengadilan Berdasarkan yuridiksi Khusus:
• Indonesia : Peradilan Umum; Peradilan Agama;
Peradilan tata Usaha Negara; Peradilan Militer.
• Belanda : Peradilan Pidana/Perdata; Peradilan
Militer; Peradilan pajak; Peradilan Anak; Peradilan Administrasi.
C. Struktur
Organisasi:
• Indonesia : Berada dibawah Mahkamah Agung
• Belanda : Berada di bawah kementrian
Kehakiman[7]
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Terdapat perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda padahal jika
ditilik dari historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP Belanda(Ned.
MvS) sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang signifikan
antara Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan
dikomparasikan terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan mereduksi
hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap keadaan dan
tidak kaku, sedangkan Indonesiabelum mampu untuk merubah hukum yang dipakai
dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan hukum yang
pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi dengan
masyarakat pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut
No.
|
Perbedaan
|
KUHP Indonesia
|
KUHP Belanda
|
1
|
Penggunaan subjek hukum korporasi
|
Belum dicantumkan
|
Sudah dicantumkan sejak tahun 1976
|
2
|
Sistem denda
|
Di taruh pada setiap Pasal tindak Pidana
|
Dirumuskan menjadi beberapa kategori, dan
pada pasalnya hny disebutkan “denda untuk kategori”
|
3
|
Hukuman pidana
|
Dicantumkan hukuman mati dalam pasal 10
|
Tidak lagi dipakai dan tidak dicantumkan,
dalam hukuman tambahan dicantumkan hukuman penempatan kerja di Negara
|
4
|
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat
|
Tidak sebab walaupun perbuatan pidana sekecil
apapun itu akan tetap dijatuhi hukum pidana
|
Iya, sebab pada Pasal 9a dijelaskan bahwa
delik kecil tidak perlu dijatuhi pidana atau tindakan
|
5
|
Sistem pemidanaan
|
Alternatif
|
Alternatif, alternatif kumulatif dan
kumulatif
|
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia belum mampu
untuk menjadi negara yang independent, walaupun secara de-juro dan de-facto
Indonesia sudah dapat dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Ketidak mampuan
Indonesia dalam mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat
dilihat, terbuti bahwa KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
3.2 Di
Indonesia struktur pengadilan tertinggi berada di Mahkamah Agung, dimana Mahkamah Agung merupakan muara
dari semua perkara baik perkara yang
diperiksa oleh Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara
maupun Peradilan Agama. Seperti halnya kejaksaan, pengadilan di Indonesia juga
dibagi ke dalam 33 regional (sesuai dengan propinsi/ Pengadilan Tinggi),
kemudian masing-masing regional dibagi lagi ke dalam satuan kabupaten/ kota
(Pengadilan Negeri). Di Belanda Terdiri dari 19 (sembilan belas)
pengadilan wilayah, 5 (lima) pengadilan banding dan satu Mahkamah Agung. Selain
itu, Belanda juga mengenal satu bagian
dari lembaga peradilan, yaitu pengadilan
khusus (special tribunal) yang memiliki yurisdiksi khusus berkaitan dengan
hukum administrasi.
3..3 Saran
Dengan hukum pidana Negara Belanda.
Perbandingan hukum (Rechtsvergelijking), khususnya perbandingan hukum pidana Indonesia
dan Belanda pada dasarnya menunjukkan suatu rangkaian kegiatan
membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain;
dengan perkataan lain membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu sistem
(stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain
DAFTAR
PUSTAKA
R Abdul
Djamali. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Andi Hamzah.
1995. Perbandingan Hukum Pidana Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Hamzah.
2000. Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 4
Badar Nawawi perbandingan
Hukum Pidana hal 48
[2]
R Abdul Djamali. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. Hal.186-187
[3][3]
Andi Hamzah. 1995. Perbandingan Hukum Pidana Berbagai Negara. Jakarta:
Sinar Grafika. Hal.7
[5]
http://sudut-sepi.blogspot.com/2012/01/asas-legalitas-dalam-perspektif-hukum.html terahkir di akses tanggal 13 sep 2012
[6]
Badar Nawawi perbandingan Hukum Pidana hal 48
[7]
Ibid