BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Kehidupan dan
kematian dapat diibaratka kedua sisi yang berlainan dari sebuah mata uang
logam. Keduanya merupakan proses awal dan akhir kehidupan semua makhluk yang
tumbuh. Tumbuhan, baik mikroorgan maupun makro. Tema yang dipilih panitia
perayaan lustrum II Sekolah Tinggi Filsafat dan Teknologi St. Johannes yaitu
“Budaya kematian versus kematian”, mengisyaratkan bahwa seminar membatasi
kehidupan dan kematian manusia saja, sebab hanya manusia sajalah makhluk yang
berbudaya. Adanya tata budaya, mengingatkan penulis pada seorang budayawan dan
sastrawan besar India, yaitu Dr. Rabindranath Tagore ia pernah berkata, “ketika
seorang anak manusia lahir, semua keluarga dan kerabat tertawa dan bergembira,
dan hanya sang bayi yang menangis. Usahakanlah sepanjang hidupmu berbuat segala
karya dan kebajikan, sehingga waktu meninggal semua orang menangis dan hanya
kamu yang tertawa di nirwana”. Karena kita ingin membahas manusia, tentu saja
dapat ditinjau dari aspek yang banyak dan luas pula. Makalah ini akan membatasi
diri pada aspek dan moral.
Euthanasia atau
yang biasa dikenal dengan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri di setarakan dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa orang lain,
Berkenaan dengan persoalan “nyawa manusia”, maka satu-satunya pranata hukum
pidana Indonesia yang kita bisa lihat dan bisa kaji adalah KUHP. Lebih khusus
lagi, pengaturan pasal-pasal KUHP yang mendekati unsur-unsur euthanasia. Dalam
kepustakaan hukum pidana di Indonesia, dikaitkan dengan KUHP, khususnya buku II
BAB XIX tentang “kejahatan Terhadap Nyawa”[1]. Di
dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan
pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia
melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum[2]. Sejauh
ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy
Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini
masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang
euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang
menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia
memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan
hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.
Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan
hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya.
Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa
setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah
hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat
oleh manusia.
Perdebatan ini
tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia
termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di
Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara
Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga
petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa.
Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu
mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan
medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan
lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.
Bahkan,
euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan.
Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via
extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara
medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat
besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara
ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan
tindakan medis di rumah sakit.Di Indonesia masalah euthanasia masih belum
mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan
Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara
yuridis.
Kasus yang
terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan
Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan
ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan
sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat
oleh dokter. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan
euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.[3]
Dari pamaran
yang telah di jelaskan diatas oleh penulis maka timbul permasalahan sebagai
berikut:
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa
dampak dari Teknologi Moderen yang dapat mengakibatkan Kehidupan maupun
Kematian di Indonesia?
1.2.2
Bagaimana
upaya Hukum dan perlindungannya terhadap kasus Euthanasia yang terjadi di
Indonesia akibat kemajuan Teknologi Moderen dalam dunia Kedokteran kehakiman
dan bagaimana prosedur pengajuan euthanasia di Indonesia?
BAB II
Pembahasan
2.1 Perkembangan
Teknologi
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) akan berperan besar dalam meningkatkan layanan
kesehatan warga dunia. Akselerasi penggunaan TIK dalam dunia kesehatan semakin
meningkat dan mudah dengan adanya partisipasi Google Inc yang mulai menyediakan
layanan Medical Record Service. Proyek percontohan Google itu telah
melibatkan puluhan ribu pasien di rumah sakit Cleveland yang dengan suka rela
mentransfer rekam medis mereka. Rekam medis yang terkumpul itu dipergunakan
oleh Google untuk memberikan layanan melalui aplikasi terbarunya. Perlu dicatat
bahwa setiap data pasien dalam rekam medis, seperti resep obat, jenis alergi,
riwayat kesehatan, dan sebagainya semuanya itu dilindungi dengan mempergunakan
password, seperti juga yang disyaratkan dalam layanan Google lainnya. Layanan
Google tersebut semakin membuat pengelola rumah sakit ingin segera memakai dan
mengintegrasikan sistem informasi dan manajemenya dengan Google demi mewujudkan
sistem layanan kesehatan yang lebih efektif dan progresif.
Perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat telah merambah ke berbagai sektor
termasuk kesehatan. Meskipun dunia kesehatan (dan medis) merupakan bidang yang
bersifat information-intensive, akan tetapi adopsi teknologi informasi relatif
tertinggal. Sebagai contoh, ketika transaksi finansial secara elektronik sudah
menjadi salah satu prosedur standar dalam dunia perbankan, sebagian besar rumah
sakit di Indonesia baru dalam tahap perencanaan pengembangan billing system.
Meskipun rumah sakit dikenal sebagai organisasi yang padat modal-padat karya,
tetapi investasi teknologi informasi masih merupakan bagian kecil. Di AS,
negara yang relatif maju baik dari sisi anggaran kesehatan maupun teknologi
informasinya, rumah sakit rerata hanya menginvestasinya 2% untuk teknologi
informasi.
Di sisi yang lain, masyarakat menyadari bahwa
teknologi informasi merupakan salah satu tool penting dalam peradaban manusia
untuk mengatasi (sebagian) masalah derasnya arus informasi. Teknologi informasi
(dan komunikasi) saat ini adalah bagian penting dalam manajemen informasi. Di
dunia medis, dengan perkembangan pengetahuan yang begitu cepat (kurang lebih
750.000 artikel terbaru di jurnal kedokteran dipublikasikan tiap tahun), dokter
akan cepat tertinggal jika tidak memanfaatkan berbagai tool untuk mengudapte
perkembangan terbaru. Selain memiliki potensi dalam memfilter data dan mengolah
menjadi informasi, TI mampu menyimpannya dengan jumlah kapasitas jauh lebih
banyak dari cara-cara manual. Konvergensi dengan teknologi komunikasi juga
memungkinkan data kesehatan di-share secara mudah dan cepat. Disamping itu,
teknologi memiliki karakteristik perkembangan yang sangat cepat. Setiap dua
tahun, akan muncul produk baru dengan kemampuan pengolahan yang dua kali lebih
cepat dan kapasitas penyimpanan dua kali lebih besar serta berbagai aplikasi
inovatif terbaru. Dengan berbagai potensinya ini, adalah naif apabila manajemen
informasi kesehatan di rumah sakit tidak memberikan perhatian istimewa. Artikel
ini secara khusus akan membahas perkembangan teknologi informasi untuk
mendukung manajemen rekam medis secara lebih efektif dan efisien. Tulisan ini
akan dimulai dengan berbagai contoh aplikasi teknologi informasi, faktor yang
mempengaruhi keberhasilan serta refleksi bagi komunitas rekam medis[4].
Namun dalam perkembangannya tidak seluruhnya dari pekermbangan tersebut
menyebabkan kemajuan yang menguntungkan bagi seseorang dampak yang disebabkan
salah satunya juga adalah maraknya terjadi Euthanasia di dalam dunia
kedokteran.
2.2 Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa
“setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang
dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan (abortus provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin
akan sembuh lagi (euthanasia), Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga
arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien
diperingan dengan memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian di
atas adalah:
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang
hidup pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2 Pekembangan Euthanasia
Perkembangan
euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha
manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan
mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam
euthanasia. Terutama berkenaan dengan penentuan kapan seorang dinyatakan telah
mati.
Beberapa konsep tentang mati yang tidak di kenal adalah:
1. Mati sebagai
berhentinya darah mengalir
2. Mati sebagai saat
terlepasnya nyawa dari tubuh
3. Hilangnnya
kemampuan tubuh secara permanen
4. Hilangnnya manusia
secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial
Konsep mati
dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur
dalam PP 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung
dan paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah
memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipicu untuk berdenyut
kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati
terlepas roh dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena misalnya pada
tindakan resusitasi yang tidak berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan
seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep
mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan
fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi
sendiri-sendri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi konsep ini menguntungkan, tetapi secara moral tidak dapat
diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak
terpandu lagi.
Bila di bandingkan
dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai kepribadian,
menyadari kehidupannya, kekhusussannya mengajukan alasan yang masuk akal mampu
berbuat menikmati mengalami kecemasan dan sebagainya kemampuan untuk melakukan
interaksi sosial tersebut makin banyak dipergunakan. Pusat pengendalian ini
terletak dalam batang otak oleh karena itu jika batang otak telah mati (brain
stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah
mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi .jika penentuannya saat mati berhubungan dengan
kepentingan transplantasi organ. Keputusan saat mati harus dilakukan oleh dua
orang dokter atau lebih dan doketer yang menentukan saat mati itu tidak boleh
ada kaitannya langsung dengan pelaksaaan trasplantasi tersebut.
Sehubungan dengan
pengaturan dalam KUHP yang terkait praktek euthanasia, Petrus Yoyo Karyadi
menguraikan atau mengklasifikasikan euthanasia sebagai berikut:
1.
Euthanasia
Aktif
Euthanasia
aktif terjadi apabila dokter atau tenaga apabila dokter atau tenaga kesehatan
lainnya secara sengaja melakukan seatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri)
hidup pasien.
2.
Euthanasia
Tidak Langsung
Euthanasia
tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa maksud
mengakhiri hidup pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa dari
tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek.
3.
Euthanasia
Pasif
Euthanasia
pasif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak
lagi memberikan bantuan medik kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.
Dari ketiga
jenis euthanasia tersebut, Petrus Yoyo Karyadi kemudian membagi lagi kedalam
tida kelompok. Masing-masing dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yang sama,
yaitu:
a)
Atas
permintaan pasien;
b)
Tanpa
permintaan pasien ;
c)
Tanpa
sikap pasien (pasien dalam keadaan koma)
Kesemua tindakan eutahasia (aktif, tidak langsung, dan pasif) dalam
kelompok tersebut dapat diancam dengan euthanasia pasif atas kehendak pasien.
Euthanasia pasif atas kehendak pasien tidak dipidana oleh karena berkaitan erat
dengan hak-hak pasien, khususnya “hak untuk menghentikan pengobatan”[5]
Namun klasifikasi mengenai euthanasia bukan hanya
ketiga hal yang telah disebutkan di atas, ada beberapa klasifikasi euthanasia
Kartono Mohamad selain ketiga hal yang telah di jelaskan diatas juga terdapat
klasifikasi Euthanasi:
4.
Euthanasia
Nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang di
sampaikan oleh atau pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah.
2.3upaya
Hukum dan perlindungannya terhadap kasus Euthanasia yang terjadi di Indonesia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum
(pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia
akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut.
Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra
tentanglegalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam
hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary
euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344
KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan
Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks
hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak
dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan
orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka
munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang
muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya,
Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk
istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara
konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara
yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai
euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua
kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP,
atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam
ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP
dinyatakan:“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun”.[3] Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang
dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3)
KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP
khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP
dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang
dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan,
bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga
bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
2.4 Euthanasia di Negara lain
Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian
mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk
mengagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang
yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan
bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena
termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong
pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch
Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor
67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di
Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah
hal seperti itu terjadi di Indonesia? Kiranya persoalan euthanasia, meskipun
pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah
persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan
dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
kehidupan manusia.
Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara
otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan
faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan. Di
Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara
Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;“Seseorang yang membunuh orang lain
atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah
melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan
pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.Sebagai bahan
perbandingan. Ternyata di negara inipun
melarang adanya euthanasia[6]
2.4 Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke
Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami
koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan
euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan
dinyatakan sehat oleh dokter.
Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan
oleh pemohon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di
Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan
berfikir untuk melakukan euthanasia.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Dampak
dari Teknologi Moderen yang dapat mengakibatkan Kehidupan maupun Kematian di
Indonesia adalah salah satunya dengan adanya Euthanasia namun Dari prespektif Hukum
Pidana di Indonesia terhadap Euthanasia yuridis normatif pengaturan secara
implisit tertuang dalam Pasal 344 KUHP. Bahkan apabila Euthanasia tidak
berdasarkan prktek maka dapat di jerat dengan ketentuan pada pasa 338
(Pembuhunan) dan 340 (pembunuhan berencana).
3.1.2 Di
Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia
akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis .Upaya Hukum untuk melindungi
Kasus-kasus berat yang tidak dapat atau susah di tangani oleh dokter dan
melakukan trobosan di Indonesia dengan cara yang dilakukan di Negara lain yang
prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan
euthanasia
3.2 Saran
3.2.1 Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan
eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral dan
terutama Agama.
Daftar Pusataka
1.Gede Widhaniana. Kapita Selekta
Hukum Pidana Jember 2009 Hlm 159
2.http://ryancdrm.wordpress.com/2011/02/01/euthanasia-menurut-kuhp-dan-kode-etik-kedokteran/terahkir di akses 17 Sep 2012
3.http://tittoarema.blogspot.com/2006/01/euthanasia-persepetif-medis-dan-hukum.html terahkir di akses 17 sep 2012
4.Abdal Rohim Artikel
Euthanasia prespektif medis dan dan hukum pidana di Indonesia
5. http://bonanzaku.blogspot.com/2011/04/perkembangan-teknologi-kedokteran.html terahkir di akses 23 Sep 2012
[1] I Gede Widhaniana. Kapita Selekta Hukum
Pidana Jember 2009 Hlm 159
[2] http://ryancdrm.wordpress.com/2011/02/01/euthanasia-menurut-kuhp-dan-kode-etik-kedokteran/ terahkir di akses 17 Sep 2012
[3] http://tittoarema.blogspot.com/2006/01/euthanasia-persepetif-medis-dan-hukum.html terahkir di akses 17 sep 2012
[4] http://bonanzaku.blogspot.com/2011/04/perkembangan-teknologi-kedokteran.html terahkir di akses 23 Sep 2012
[5]
Ibid hlm 160
[6]
Abdal Rohim Artikel Euthanasia prespektif
medis dan dan hukum pidana di Indonesia