Kamis, 07 Maret 2013




“Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Perlindungan Hukum Whistle Blower Participant dan Stategi Pemberantasan Korupsi secara Intergral dalam Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia”
By: Gress Gustia Adrian Pah

ABSTRAK

Sasaran “restorative justice” bukan hanya kepada pelaku , tetapi juga kepada korban,  dan saksi serta masyarakat. Dalam pandangan Restorative Justice, kepentingan korban dan saksi sangat diperhatikan. Sama pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi dan membantu untuk mengukap para pelaku. Urgensi whistleblower untuk menuntut keberhasilan dalam suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil di ungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum. Dalam banyak kasus, pelapor tidak dapat dikategorikan sebagai saksi (mendengar atau mengalami) namun laporannya sangat bermanfaat untuk mengungkap kejahatan. Dalam konteks(mafia in the judiciary system) atau mafia hukum pengukapan suatu kejahatan yang teorganisir (organized crime) atau kejahatan dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan tersebut (participant whitleblower). Sehingga jika dalam hal pemberantasan korupsi yang banyak terjadi di lembaga pemerintahan (pusat dan daerah), perusahaan-perusahaan swasta, BUMN. BUMD, dan perbankan betul-betul ingin di berantas maka konsep perindungan peniup peluit/informan harus benar-benar diatur secara komperhensi dalam sebuah undang-undang. Maka perlindungan terhadap participant whistkeblower/ coperating witness/justice collaborator harus secara jelas diatur dalam undang-undang.  Selain hal tersebut dalam permasalahan pemberantasan korupsi penting untuk adanya  upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi. Strategi demikian tentunya lebih bersifat frgmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-oleh hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor pembaharuan udang-undangan. Padahal jika di lihat dari sudut kebijaksanaan kriminal, strategi dasar penyalahgunaan kejahatan ( the basic crime prevention strategi) seyogiannya diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadi kejahatan (korupsi).

Kata Kunci  Restorative Justic,  Urgensi perindungan whistleblower, pemberantasan korupsi, strategi intergral dalam pemberantasan koruspsi















Latar Belakang
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.
Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative sebagai  nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative  peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku. Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat sejumlah kelemahan terutama dalam kasus Whistle Blower Participant penting untuk menjadi perhatian khusus untuk memberikan perlindungan karena itu juga dapat menjadi salah satu bagian untuk mendukung upaya pembetantasan Korupsi di Indonesia, selain itu Upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi.
 Dari latar belakang tersebut maka timbulah beberapa permasalahan yaitu
         Bagaimana Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Perlindungan Hukum Whistle Blower Participant?
         Bagaimana Stategi Pemberantasan Korupsi secara Intergral dalam Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia?

BAB I
PEMBAHASAN

1.1  Restoratif Justice
Definisi “restorative justice is concerned with healing victims wounds, restoring offenders to law abiding lives, and repairing harm done to interpersonal relationships and the community” Yang artinya kurang lebih “ restorative justice (keadilan restoratif) berfokus untuk menyembuhkan luka yang diderita korban (fisik maupun psikis), membuat pelaku menjadi taat hukum, memperbaiki hubungan sesama manusia serta kepada masyarakat akibat suatu tindak pidana;[1]
Dikutip dari Greif, menurut Liebmann, keadilan restoratif merupakan keseimbangan dari 1.    Terapetik (pemulihan) dan retributif (penghukuman);
2.    Hak Pelaku dan hak serta kebutuhan korban;
3.    Kewajiban untuk merehabilitasi pelaku dan kewajiban melindungi kepentingan umum;
DR. Eva Achjani Zulfa
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini
Jadi sasaran “restorative justice” bukan hanya kepada pelaku , tetapi juga kepada korban,  dan saksi serta masyarakat. Dalam pandangan Restorative Justice, kepentingan korban dan saksi sangat diperhatikan. Sama pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi dan membantu untuk mengukap para pelaku. Jika kedua hal ini telah terpenuhi, maka diharapkan kehidupan sosial masyarakat dapat pulih kembali.
Para penganut paham ini berpedapat karena hukum bertitik tolak tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada korban serta masyarakat, maka penegakan hukum inilah yang dianggap paling adil;[2]
3 Prinsip Restorative Justice:
1.    keadilan harus dapat memulihkan mereka yang telah terluka;
2.    Setiap pihak yang terkena dampak dari suatu tindak pidana (korban) memilik kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam penegakan hukum;
3.    Peran pemerintah hanya untuk menjaga ketertiban umum. Sedangkan peran masyarakat adalah untuk membangun dan memelihara perdamaian;
Karakteristik Restorative Justice
1.    Pertemuan: kesempatan bagi korban, pelaku dan tokoh masyarakat untuk mendiskusikan akibat dari suatu tindak pidana serta bagaimana solusinya;
2.    Ganti Rugi: diharapkan pelaku dapat memperbaiki akibat yang ditimbulkan;
3.    Reintegrasi: diharapkan hubungan antara pelaku, korban, serta kehidupan bermasyarakat dapat pulih kembali;
4.    Penyertaan: memberikan kesempatan kepada orang yang menyuruh melakukan, menganjurkan maupun turut serta melakukan untuk berpartisipasi berdiskusi dan memberikan solusi perbaikan atas akibat yang ditimbulkan;
Partisipasi korban dalam restorative justice bukanlah suatu keharusan, tapi merupakan hak bagi korban. Hak ini diberikan setelah korban menerima informasi secara penuh mengenai peran korban, peran pelaku, serta informasi penuh mengenai sistem peradilan.
Di Kanada (negara yang pertama kali menerapkan sistem restorative justice), restorative justice bisa dilakukan tanpa melalui proses peradilan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
Pelaku mengaku bersalah dan bersedia bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang ia lakukanKorban secara bebas, tanpa paksaan dari pihak manapun menyetujui proses restorative justice di luar peradilan; perlindungan terhadap whistle blower atau peniup peluit seharusnya dilakukan, agar sang whistle blower mampu mengungkap kasus korupsi secara komperhensif.  Sedangkan, yang dimaksud dengan whistle blower participant adalah whistle blower yang turut terlibat dalam kasus korupsi. Whistle blower participant ini misalnya adalah Susno Duadji dan Agus Tjondro. Mereka patut diapresiasi karena keberaniannya untuk mengungkap kasus dimana diri mereka terlibat.  Namun demikian, undang - undang di Indonesia belum sama sekali mengatur perlindungan terhadap whistle blower participant ini, sehingga mereka rawan dikriminalisasi upaya optimalisasi perlindungan terhadap saksi masih membutuhkan proses cukup panjang. Dia mengatakan, saat ini LPSK sedang mengajukan revisi UU No.13 Tahun 2006. “Revisi ini dikhususkan mengatur mengenai jaminan perlindungan khusus dan reward bagi whistleblower dan justice collaborator pentingnnya dukungan masyarakat, pemerintah dan DPR terhadap upaya revisi UU No.13 Tahun 2006 dapat terwujud dengan masuknya revisi UU ini dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013.
Upaya optimalisasi perlindungan terhadap Whistleblower dan justice collaborator seharsunya berbanding lurus dengan penguatan kelembagaan LPSK, sehingga penguatan kelembagaan itu pun harus ada dalam revisi UU No.13 Tahun 2006.  selain ini yang perlu di perhatikan adalah whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan perusahaan atau institusi tempat dia bekerja dasar hukum bagi perlindungan bagi whistleblower adalah sebagai berikut pasal 10 ayat 1UU PSK:” saksi, korban, dan pela[or, tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. Kemudian pada pasa 10 ayat (2) UU PSK:’ seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebeaskan dari tuntutan pidana, apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan besalah tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang kan dijatuhkan . Mengacu ke Amerika Serikat, setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom dan Enron, lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 kemudian menjadi payung hukum yang melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang terjadi.  Jika aparat penegak hukum dapat memberikan jaminan hukum dan keamanan kepada saksi pelapor, apalagi ditambah pemberian reward seperti di Korea Selatan, tentunya akan lebih banyak orang yang “berani” melaporkan berbagai penyimpangan atau korupsi, atau bahkan menjadikan dirinya “martir” pemberantasan korupsi di negeri ini. Dalam konteks(mafia in the judiciary system) atau mafia hukum pengukapan suatu kejahatan yang teorganisir (organized crime) atau kejahatan dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan tersebut (participant whitleblower). Sehingga jika dalam hal pemberantasan korupsi yang banyak terjadi di lembaga pemerintahan (pusat dan daerah), perusahaan-perusahaan swasta, BUMN. BUMD, dan perbankan betul-betul ingin di berantas maka konsep perindungan peniup pelit/informan harus benar-benar diatur secara komperhensi dalam sebuah undang-undang. Maka perlindungan terhadap participant whistkeblower/ coperating witness/justice collaborator harus secara jelas diatur dalam undang-undang. [3]

1.2 Stategi Pemberantasan Korupsi
Upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi. Strategi demikian tentunya lebih bersifat frgmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-oleh hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor pembaharuan udang-undangan. Padahal jika di lihat dari sudut kebijaksanaan kriminal, strategi dasar penyalahgunaan kejahatan ( the basic crime prevention strategi) seyogiannya diarahkan pada upaya meniadakan (meneliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadi kejahatan (korupsi). Jadi, diperlukan pendekatan/strategi intergral dalam arti,
         tidak hanya strategi penanggulangan simptomatik dan reprensif lewat pembaharuan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulanngan kausatif dan preventif,
         tidak hanya melakukan ‘law refrom’ tetapi juga sosial economic, political, maral, and administrative refrom
         tidak hanya melakukan pembaharuan UU korupsi , tetapi juga pembaharuan semua peraturan perundangundang yang lain yaitu undang-undang yang memberikan peluang untuk terjadinnya korupsi/KKN, antara lain di bidang politik, ekonomi, keuanngan, perbangkan, kesejatrahan sosial, kode etik proposional dan perilaku pejabat, nirokrasi administratif dan sebagainya.
Strategi intergral demikian diperlukan karena kausa dan konsisi yang dapat menjadikan peluang timbulnnya korupsi sangan komples, shingga masalah korupsi sangan kempoles, sehingga masalah korupsi sarat dengan berbagai komplesitas masalah. Antara lain, masalah sikap mental/moral, masalah pola/ sikap hidup dan budaya sosial, masalah lingkunngan sosial kesenjangan sosial ekonomi, masalah kebutuhan /tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/ budaya politik, masalah lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi kausa dan konsis yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi bisa terjadi di bidang morl, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya. Di samping oitu krupsi, pada hakikatnnya mengandung aspek yang sangat luas. Korupsi tidak hanya mengandung aspek ekonomi (yaitu merugikan keungan /perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga korupsi jabatan, korupsi kekuasaan, korupsi politik, korupsi nilai-nilai demokrasi, korupsi modal dan sebagainnya. Mengingat aspke yang luas itu, dan bahkan dimasukkan juga dalam salah satu bentuk transnational crime.
            Jadi korupsi terkait dengan masalah dan ruang gerak yang cukup luas. Oleh karena itu, apabila upaya penanggulangan korupsi ingin ditempuh lewat penegakan hukum, maka harus pula dilakukan analisis dan pembenahan intergral terhadap semua peraturan perundang-udangan yang terkait. Artinya, tidak hanya melakukan evaluasi dan pembaharuan (reformasi) terhadap UU pemberantasan Korupsi (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ) tetapi juga misalnya U dibidang Tindak Pidana Ekonomi, Perbankan, Perdagangan, Kepabeanan, Kesejatrahan sosial, politik dan sebagainya. Bahkan tidak hanya membenahi peraturan untuk mencegah/memberantas terjadinnya tindak pidana korupsi, tetapi juga membenahi peraturan yang diharpkan mampu mengantisipasi segala aktivitas setelah terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam resolusi Kongres PBB ke 8/1990 tentang corruption in goverment antara kain direkomendasikan, agar negara anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi (improved banking and financial regulations to prevent capital flight ). Disamping itu, mengungat sifatnya yang tradisional, maka kerja sama regional dan internasional dalam upaya pemberantasan korusi juga perlu ditingkatkan. Hal ini diperlukan karena dalam dokumen kongres PBB ke 9 11995 diungkapkan adanya kesulitan memberantas praktik korupsi sebagai berikut.  Di banyak yuridiksi, melakukan dan meneima suap merupakan suatu tindak pidana. Akan tetapi dalam hubungannya dengan transaksi tradisional (transnational transactions) sering hal ini tidak cukup untuk mencegah praktik-praktik korupsi karena
         si penyuap sering berapa dalam yuridiksi lain yang sulit di jangkau oleh UU dari Negara tempat pejabat itu di suap
         sangatlah sulit menditeksi apakah pembayaran (pemberian suap, pen) itu telah dilakukan, karena misalnnya melaui transfer elektronik
         walaupun UU melarang perbuatan demikian namun budaya komersial (comemercial culture) yang berlaku di negara pejabat yang bersangkutan mendorong/mendukung praktik-praktik demikian, baik secara ekspisit maupun implisit.[4]
















BAB II
KESIMPULAN

2.1 KESIMPULAN

         whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan perusahaan atau institusi tempat dia bekerja. Mengacu ke Amerika Serikat, setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom dan Enron, lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 kemudian menjadi payung hukum yang melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang terjadi
         tidak hanya strategi penanggulangan simptomatik dan reprensif lewat pembaharuan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulanngan kausatif dan preventif,
         tidak hanya melakukan ‘law refrom’ tetapi juga sosial economic, political, maral, and administrative refrom
         tidak hanya melakukan pembaharuan UU korupsi , tetapi juga pembaharuan semua peraturan perundangundang yang lain yaitu undang-undang yang memberikan peluang untuk terjadinnya korupsi/KKN, antara lain di bidang politik, ekonomi, keuanngan, perbangkan, kesejatrahan sosial, kode etik proposional dan perilaku pejabat, nirokrasi administratif dan sebagainya.
 2.2 SARAN

Kita harus melihat segala sesutatu dari berbagai presoektif yang membuka wawasan untuk menciptakan sebuah keberhasilan dalam segala, leh karena itu penting untuk pemberantasan korupsi tidak hanya di lihat dari satu aspek tetapi beberapa aspek untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Garner, Bryan A., ed., Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: Thomson West, Eighth Edition, 2004

Dr. H. Siswanto Sunarso, S.H.,M.H.,M.kn Victiminologi dalam Sistem Peradilan Pidana Jakarta Timur 2012



[1] Garner, Bryan A., ed., Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: Thomson West, Eighth Edition, 2004
[2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a0ceb9d854d/revisi-uu-perlindungan-saksi-dan-korban-perlu-dipertajam terahkir di akses 27 januari 2013

[3] Dr. H. Siswanto Sunarso, S.H.,M.H.,M.kn Victiminologi dalam Sistem Peradilan Pidana Jakarta Timur  2012 hlm 221-222
[4] Barda Nawawi Arief Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan Jakarta  2007 hlm 135


Tidak ada komentar:

Posting Komentar