Rabu, 05 Desember 2012

Kejahatan Korporasi Implementasi UU 13 tahun 2003, dan PP 3 tahun 2002 pada Korban Kejahatan Korporasi



Kejahatan Korporasi
Implementasi UU 13 tahun 2003, dan PP 3 tahun 2002 pada Korban Kejahatan Korporasi
By: Gress Gustia A.P
Undang – Undang 13 Tahun 2006 mengenai Perlindungan saksi dan korban
Undang-undang 13 tahun 2006 adalah uang-uang yang memberikan payung hukum terhadap saksi dan korban , sebagaimana yang di maksud dengan saksi ialah di jelaskan pada ketentuan pasal 1  Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Sedangkan korban di atur pada ayat 2 Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dari pengertian korban tersebut jelas bahwa orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugisan ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana dapat di lindungi oleh undang-undang ini. Penulis akan menjelaskan mengenai makna kerugian ekonomis yang di akibatkan oleh suatu tidak pidana. Sebelum menjawab apakah Undang-undang 13 tahun 2006 ini mengatur tentang perlindungan terhadap korban korporasi mari kita melihat substansi yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2 mengenai korban, jika dalam ayat tersebut terdapat redaksi kata mengenai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomis yang di sebabkan oleh suatu tindak pidana. Maka redaksi yang relevan untuk di tafsirkan bahwa korban kejahatan korporasi juga dapat di lindungi oleh uu 13 tahun 2006 ini adalah berkaitan dengan kerugian ekonomi . di dalam pasal 5  ayat 2 menyatakan bahwa “Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.” Yang di maksud kasus-kasus tertentu dapat kita ketahui pada penjelasan pasal 5 ayat 2  Yang dimaksud dengan "kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika,tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya” sedangkan jika kita membahas mengenai Korupsi, di dalam undang-undang korupsi mengenal bahwa Korporasi merupakan subjek hukum yang dapat di lihat di dalam Bab I UU No. 31 tahun 1999 mengenenai TIPIKOR pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum. Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa bentuk pemberian perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi  pada UU 13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban, berdasarkan penjelasan pasal 5 ayat 2 maka korban korporasi dapat juga di berikan perlindungan sebagaimana yang di atar dalam pasal 7 Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bentuk perlindungan dalam Undang- undang ini dengan bentuk the service model.  Yaitu  menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap korban yang dilakukan oleh polisi hakim sebagaimana yang telah di jelaskan di atas. Misalnya pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi

Peraturan pemerintah Nomor 2 tanun 2002 Tentang tata cara Perlindungan Terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
Mengenai siapa korban yang di atur di dalam Peraturan Pemerintah no 2 tahun 2002 dapat kita lihat dalam pasal ketentuan umum pasal 1 ayat 2 Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Dari pasal tersebut menjelaskan bahwa korban tersebut adalah korban yang terjadi akibat penderitaan dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Seperti yang kita ketahui bahwa karakteristik korban korporasi adalah kejahatan yang bersifat inkonvensional, korban kejahatan sulit untuk diketahui atau korban baru diketahui pada waktu yang cukup lama setelah terjadinya kejahatan. Bahkan adakalanya korban tidak mengetahui sama sekali kalau dirinya telah menjadi korban dari kejahatan korporasi. Hal itu berarti terdapat suatu kesulitan untuk mengetahui apakah telah terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau tidak. Korban kejahatan korporasi sulit diidentifikasikan mengingat sifatnya yang abstrak (abstract victim). Korban juga kadang tidak menyadari telah menjadi korban kejahatan korporasi seperti pemerintah, konsumen, ataupun perusahaan saingan. Sehingga korban yang di maksud pada PP No 2 tahun 2002 tidak dapat di implementasikan pada korban kejahatan korporasi. Di karenakan korban yang di maksud PP ini adalah korban yang bersifat konvensional yang mudah untuk di identifikasi karena berkaitan langsung dengan pelanggaran Hak asasi manusia.