Jumat, 16 November 2012


PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PIDANA, PERADILAN MAUPUN  SANKSI YANG TEDAPAT DI NEGARA BELANDA DENGAN INDONESIA
By Gress Gustia Adrian Pah

Latar Belakang
Salah satu tujuan dalam perbandingan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah dalam rangka pelaksanaan pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum dilakukan dengan mencari referensi sebanyak mungkin dari negara dengan sistem hukum yang sama maupun dari sistem hukum yang berbeda. Dalam rangka pembangunan hukum, diperlukan terlebih dahulu adanya perencanaan hukum (legal planning) yang dapat menampung segala kebutuhan dalam suasana perubahan-perubahan sosial atau dinamika masyarakat. Namun sebagaimana dikatakan oleh Sunaryati Hartono, “Legal Planning” itu bukan pekerjaan yang mudah. Harus terlebih dahulu kita mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang sistem hukum masing-masing Negara. Di sinilah letak perlunya Perbandingan Hukum (Comparative Law). Dengan perbandingan hukum, khususnya hukum pidana akan memperluas cakrawala berpikir serta memberi kesadaran kepada perencana atau pelaksana pembangunan hukum itu bahwa bagi setiap masalah hukum terbuka lebih dari hanya satu cara untuk mengatasinya. Apalagi dalam perkembangan kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Akibat kemajuan teknologi, jarak-jarak antar negara semakin rapat, hubungan komunikasi semakin cepat, maka setiap negara akan cenderung memperbandingkan dirinya dengan negara lain, dengan maksud untuk memelihara keseimbangan dan harmonisasi antar negara sehingga tujuan nasional masing-masing dapat tercapai.Banyak sekali Negara yang merubah hukum pidannya demi menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakat, ada pula yang merombak total dan menciptakan yang baru, ini seperti dilakukan oleh Negara Belanda. Dan dalam tulisan ini, akan dikupas tuntas mengenai perbandingan hukum pidana Negara Indonesia, dengan hukum pidana Negara Belanda. Perbandingan hukum (Rechtsvergelijking), khususnya perbandingan hukum pidana Indonesia dan Belanda pada dasarnya menunjukkan suatu rangkaian kegiatan membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain; dengan perkataan lain membanding-bandingkan lembaga hukum  (legal institution) dari suatu sistem (stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain.
Prinsip dasar untuk membandingkan sesuatu adalah mencari persamaan dari kedua objek yang akan dibandingkan. Dari dua objek yang memiliki kesamaan tersebut kemudian dibandingkan untuk mencari perbedaan diantara keduanya. Di dalam mempelajari perbandingan hukum pidana, tidak hanya dipelajari tentang perbandingan hukum pidana materiilnya saja, melainkan juga perbandingan dalam hukum pidana formilnya. Perbandingan hukum pidana tidak hanya membandingkan prosedurnya melainkan juga membandingkan keberadaan lembaga pelaksana prosedur tersebut. Perbandingan hukum pidana materiil mempelajari tentang perbandingan prinsip dasar hukum pidana antara satu negara dan negara lain, perbandingan sistem pemidanaan negara satu dengan yang lain serta membandingkan pengaturan perbuatan yang dilarang antara satu negara dengan negara lainnya.  Sedangkan perbandingan hukum pidana formil membandingkan tentang pengaturan peraturan perundang-undangannya, lembaga penegak hukumnya serta proses dalam sistem peradilan pidananya. Selain hal di atas, hukum pidana formil juga mempelajari serta mengatur bentuk-bentuk dan jangka waktu yang mengikat bagi pemberlakuan hukum pidana materiil. Dari latar belakang di atas maka terddapat rumusan masalah sebagai berikut.
1.1  Rumusan Masalah
1.1.1        Apa perbedaan KUHP Negara Belanda dan Negara Indonesia?
1.1.2        Apakah perbedaan dan persamaan sistem hukum pidana, peradilan maupun sistem sangsi yang terdapat di Negara Belanda dengan Indonesia?  










BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERBANDINGAN SISTEM PERUMUSAN KUHP BELANDA DAN INDONESIA
Pidana materiil merupakan keseluruhan peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma, Simoans merumuskan pengertian mengenai pidana materiil ini sebagai petunjuk dan uraiaan tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.[1]
Dalam substansi pidana materiil tersebut  sudah barang tentu antar negara berbeda sifat dan berbeda jenis sanksi dan aturan yang terkandung di dalamnya sebab antar negara mempunyai kultur yang berbeda satu dengan yang lainnya.perbedaan ini bisa dipengaruhi oleh kultur yang berupa hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat dan dipositifisasi oleh negara dan dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku di masyarakat maupun oleh siklus keadaan bekas jajahan sehingga berdampak pada penerapan hukum dari negara bekas jajahan.
Penerapan kebudayaan Indonesia kedalam aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia sudah barang tentu menjadi hal yang biasa dan mudah untuk diterapkan sebab ada kecenderungan masyarakat untuk taat dan tunduk terhadap aturan yang direduksi dari kebudayaan yang telah hidup dan berkembang di masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu menyesuaikan aturan dengan kehidupan sehari-hari karena masyarakat sudah terbiasa dengan adanya kebudayaan tersebut
Berbeda dengan aturan yang mereduksi dari kultur masyarakat sendiri, aturan yang dibuat oleh negara penjajah tentu menjadi hal yang sangat susah untuk diterapkan walaupun masyarakat sudah berusaha untuk memahami dan mencoba untuk beradaptasi, tapi kemudian hal ini bertentangan dengan jiwa masyarakat bekas negara jajahan yang basicnya pun sudah berbeda dengan jiwa negara penjajah. Oleh sebab itu penting kiranya mempelajari bagaimana perbedaan antara negara penjajah dengan negara yang dijajah dalam hal penerapan hukum.
Perbedaan antara negara penjajah dan negara bekas jajahan dalam makalah ini dispesifikkan antara negara Indonesia dengan negara Belanda mengingat kultur masyarakat Indonesia sangat jauh berbeda dengan hukum yang dibawa belanda ke Indonesia, dan hal ini menjadi rancu ketika terus menerus memaksakan kehendak untuk mengadopsi hukum belanda ke dalam aturan yang mengatur masyarakat Indonesia melalui Kitab Undang-undang hukum pidana atau het wetboek van Strafrecht voor Nederlansch. Berikut adalah perbedaan antara konsep KUHP negara Indonesia dengan belanda:
A.    KUHP di negara Indonesia
Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional
Akan tetapi dalam sistem hukum yang terdapat dala Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) berbeda dengan penerapan sistem anglo saxon, sebab Indonesia mengadopsi sistem Civil law hal ini ditandai dengan adanya kodifikasi hukum berupa KUHP, yang terdiri atas 569 pasal yang dapat dibagi menjadi:
1.      Buku I        : memuat mengenai ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leersstrukken)- Pasal 1-103
2.      Buku II        : mengatur tentang tindak pidana kejahtan (Misdrijven) – Pasal   104 - 488
3.      Buku III      : mengatur tentang tindak pidana pelanggaran (overstredingen) – Pasal 489 – 569
Sistem hukuman dalam KUHP tercantum dalam pasal 10 yang menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana sebagai berikut:
1. Hukuman pokok (Hoofd straffen)
a.    Hukuman mati
b.    Hukuman penjara
c.    Hukuman kurungan
d.   Hukuman denda
2. Hukuman tambahan (Bijkomende straffen)
a.       Pencabutan beberapa hak tertentu
b.      Perampasan barang-barang tertentu
c.       Pengumuman putusan hakim
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar maka kesederhanaannya menjadi kurang. Hal ini karena sistemukum yang kelihatan sederhana dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan sifat objektif hukuman yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidanyanya saja. Hal inilah yang kemudian sering menimbulkan pertentangan pendapat antar para ahli hukum sarjana hukum [2]. Alasan pemakaian hukuman mati dalam KUHP ini dikarenakan keadaan di Indonesia dengan ribu-ribu pulau , beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang mencukupi jadi perlu pidana yang berat[3]
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat   (1)   KUHP   mengandung  di dalamnya  asas  “legalitas formal”,  asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif”.  Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:

(a)   “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law--) ;

(b)   “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy) ;

(c)   “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut) ;

(d)  “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).[4]
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya[5]
2.2 KUHP di negara Belanda
Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System).
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP belanda tidak dicantumkan hukuman mati. Dan terdapat pidana tambahan yang ada dalam KUHP belanda ini yakni pada Pasal 10 yaitu penempatan di tempat kerja negara.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan tuntutan kemajuan teknologi dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik mukah (overspel) telah dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal 239 yang sepadan dengan Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti dengan”di tempat yang menjadi lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam kamar tidur rumah sendiri bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang menghadap ke jalan umum, berarti di depan umum karena dapat dilihat oleh orang yang lewat jalan tersebut. Tetapi jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda perbuatan semacam itu, karena tempat tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang menjadi lalu lintas umum
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada kategori, dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut dicantumkan maksimum denda. Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23 Korporasi (badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP belanda sejak Tahun 1976 yang dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda, karena tidak mungkin dipakai hukuman penjara. Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga alternatif/kumulatif denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap keamanan negara, tidak terkecuali makar terhadap negara
Karena pengaruh dari hukum pidana modern, yang mengatakan bahwa jika suatu perbuatan merupakan delik tetapi secara sosial kecil artinya maka tidaklah perlu dijatuhkan pidana atau tindakan, menjelma dalam sisipan KUHP belanda 1984 Pasal 8a. “jika hakim menganggap patut berhubung dengan kecilnya arti suatu perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula sesudah perbuatan dilakukan, ia menentukan dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang akan dikenakan
Salah satu tujuan dalam perbandingan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah dalam rangka pelaksanaan pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum dilakukan dengan mencari referensi sebanyak mungkin dari negara dengan sistem hukum yang sama maupun dari sistem hukum yang berbeda. (Munir Fuady, 2007: 22)

Di dalam mempelajari perbandingan hukum pidana, tidak hanya dipelajari tentang perbandingan hukum pidana materiilnya saja, melainkan juga perbandingan dalam hukum pidana formilnya. Perbandingan hukum pidana materiil mempelajari tentang perbandingan prinsip dasar hukum pidana antara satu negara dan negara lain, perbandingan sistem pemidanaan negara satu dengan yang lain serta membandingkan pengaturan perbuatan yang dilarang antara satu negara dengan negara lainnya. Perbandingan hukum pidana formil membandingkan tentang pengaturan peraturan perundang-undangannya, lembaga penegak hukumnya serta proses dalam sistem peradilan pidananya.

Prinsip dasar untuk membandingkan sesuatu adalah mencari persamaan dari kedua objek yang akan dibandingkan. Dari dua objek yang memiliki kesamaan tersebut kemudian dibandingkan untuk mencari perbedaan diantara keduanya.

Belanda dibandingkan dengan Indonesia dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah karena Belanda memiliki kesamaan sistem hukum Indonesia, bahkan hukum pidana materiil Indonesia juga masih mempergunakan hukum pidana materiil pada era Belanda.[6]

Ada empat hal yang menjadi kriteria pembanding yaitu:

1. Pengaturan hukum pidana formil;
2. Lembaga penegak hukum;
3. Proses dalam sistem peradilan pidana.

Persamaan sistem peradilan pidana  Indonesia dan Belanda
Sebelum melihat perbedaan antara sistem peradilan  pidana Indonesia dan Belanda, baiknya untuk mengetahui  persamaan antara sistem peradilan pidana Indonesia dan Belanda.

1.       Pengaturan hukum acara terkodifikasi dalam suatu  kitab undang-undang, yaitu KUHAP dan Wetboek van Strafvordering;

2.       Pengaturan tentang kewenangan masing-masing  lembaga juga diatur di dalam undang undang tersendiri, misal di Indonesia dengan UU Kepolisian, UU Kejaksaan dll, di Belanda terdapat Wet Bijzondere Opsporingsbevoegdheden (BOB) atau yang juga dikenal dengan The Special Powers of Investigation Act dll.

3.       Adanya lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan dan advokat;

4.       Adanya pembagian daerah hukum seperti  pengadilan negeri dan kejaksaan negeri;

5.       Adanya kesamaan dalam proses penyidikan,  penuntutan, pemeriksaan persidangan,
banding, kasasi dan eksekusi.
Perbedaan sistem peradilan pidana
Indonesia dan Belanda Perbedaan antara sistem peradilan pidana Indonesia dan Belanda dalam pembahasan ini  dilihat dari kriteria kewenangan lembaga penegak hukumnya dan proses dalam sistem peradilan pidananya. Walaupun memiliki lembaga penegak hukum yang  sama, namun dalam kewenangannya memiliki perbedaan yang cukup besar, termasuk di  dalamnya adalah dalam proses sistem peradilan pidananya



Perbedaan Kepolisian Indonesia dan  Belanda
Kepolisian Indonesia dibagi ke dalam 33 regional (sesuai  dengan propinsi/ POLDA), kemudian masing-masing  regional dibagi lagi ke dalam satuan kabupaten/ kota (POLRES) dan masing-masing POLRES dibagi lagi ke dalam satuan Kecamatan (POLSEK).   Kepolisian di Belanda dibagi ke dalam 25 (dua puluh lima)  regional dan satu polisi nasional, dengan berbagai macam divisi pembantu. Pembagian wilayah tersebut tergantung banyak faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat kejahatan dan kepadatan gedung. Tiap-tiap regional dibagi lagi ke dalam beberapa wilayah dan divisi.

A.      Struktur Organisasi:
        Indonesia        : Non departemen dan langsung berada dibawah presiden
        Belanda           : Berada di bawah kementrian hubungan internal dan kementrian kehakiman
B.      Fungsi Utama Terkait Sistem Peradilan Pidana:
        Indonesia        : Penyelidikan dan Penyidikan
        Belanda           : Penyidikan (tidak dibedakan antara penyelidikan dan penyidikan)
C.      Hubungan antar Lembaga dalam melakukan fungsi tersebut:
        Indonesia        : Berkoordinasi dengan kejaksaan dan Kehakiman
        Belanda           : Di bawah perintah kejaksaan
D.      Kewenangan Untuk Menghentikan Penyidikan:
        Indonesia        :Terbatas berdasarkan Undang-Undang
        Belanda           : Tidak terbatas



2.3 Perbedaan Pengadilan Indonesia dan  Belanda
Di Indonesia struktur pengadilan tertinggi berada di Mahkamah  Agung, dimana Mahkamah Agung merupakan muara dari semua  perkara baik perkara yang diperiksa oleh Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara maupun Peradilan Agama. Seperti halnya kejaksaan, pengadilan di Indonesia juga dibagi ke dalam 33 regional (sesuai dengan propinsi/ Pengadilan Tinggi), kemudian masing-masing regional dibagi lagi ke dalam satuan kabupaten/ kota (Pengadilan Negeri). 

Di Belanda Terdiri dari 19 (sembilan belas) pengadilan wilayah, 5 (lima) pengadilan banding dan satu Mahkamah Agung. Selain itu,  Belanda juga mengenal satu bagian dari lembaga peradilan, yaitu  pengadilan khusus (special tribunal) yang memiliki yurisdiksi khusus berkaitan dengan hukum administrasi. 

A.      Pengadilan superior dan inferior (strata tingkat pengadilan dari yang paling tinggi):
        Indonesia        :  Mahkamah Agung; Pengadilan Tinggi; Pengadilan Negeri
        Belanda           :Mahkamah Agung; Pengadilan Banding; Pengadilan Magistrate.
B.      Pembagian Pengadilan Berdasarkan yuridiksi Khusus:
        Indonesia        : Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan tata Usaha Negara; Peradilan Militer.
        Belanda           : Peradilan Pidana/Perdata; Peradilan Militer; Peradilan pajak; Peradilan Anak; Peradilan Administrasi.
C.      Struktur Organisasi:
        Indonesia        : Berada dibawah Mahkamah Agung
        Belanda           : Berada di bawah kementrian Kehakiman[7]



BAB III
KESIMPULAN

3.1 Terdapat perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda padahal jika ditilik dari historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP Belanda(Ned. MvS) sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan dikomparasikan terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan mereduksi hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap keadaan dan tidak kaku, sedangkan Indonesiabelum mampu untuk merubah hukum yang dipakai dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan hukum yang pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi dengan masyarakat pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut
No.
Perbedaan
KUHP Indonesia
KUHP Belanda
1
Penggunaan subjek hukum korporasi
Belum dicantumkan
Sudah dicantumkan sejak tahun 1976
2
Sistem denda
Di taruh pada setiap Pasal tindak Pidana
Dirumuskan menjadi beberapa kategori, dan pada pasalnya hny disebutkan “denda untuk kategori”
3
Hukuman pidana
Dicantumkan hukuman mati dalam pasal 10
Tidak lagi dipakai dan tidak dicantumkan, dalam hukuman tambahan dicantumkan hukuman penempatan kerja di Negara
4
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Tidak sebab walaupun perbuatan pidana sekecil apapun itu akan tetap dijatuhi hukum pidana
Iya, sebab pada Pasal 9a dijelaskan bahwa delik kecil tidak perlu dijatuhi pidana atau tindakan
5
Sistem pemidanaan
Alternatif
Alternatif, alternatif kumulatif dan kumulatif
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia belum mampu untuk menjadi negara yang independent, walaupun secara de-juro dan de-facto Indonesia sudah dapat dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Ketidak mampuan Indonesia dalam mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat dilihat, terbuti bahwa KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

3.2 Di Indonesia struktur pengadilan tertinggi berada di Mahkamah  Agung, dimana Mahkamah Agung merupakan muara dari semua  perkara baik perkara yang diperiksa oleh Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara maupun Peradilan Agama. Seperti halnya kejaksaan, pengadilan di Indonesia juga dibagi ke dalam 33 regional (sesuai dengan propinsi/ Pengadilan Tinggi), kemudian masing-masing regional dibagi lagi ke dalam satuan kabupaten/ kota (Pengadilan Negeri).   Di Belanda Terdiri dari 19 (sembilan belas) pengadilan wilayah, 5 (lima) pengadilan banding dan satu Mahkamah Agung. Selain itu,  Belanda juga mengenal satu bagian dari lembaga peradilan, yaitu  pengadilan khusus (special tribunal) yang memiliki yurisdiksi khusus berkaitan dengan hukum administrasi. 

3..3 Saran
Dengan hukum pidana Negara Belanda. Perbandingan hukum (Rechtsvergelijking), khususnya perbandingan hukum pidana Indonesia dan Belanda pada dasarnya menunjukkan suatu rangkaian kegiatan membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain; dengan perkataan lain membanding-bandingkan lembaga hukum  (legal institution) dari suatu sistem (stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain






















DAFTAR PUSTAKA

R Abdul Djamali. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Andi Hamzah. 1995. Perbandingan Hukum Pidana Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 4

Badar Nawawi perbandingan Hukum Pidana hal 48



[1] Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 4
[2] R Abdul Djamali. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal.186-187
[3][3] Andi Hamzah. 1995. Perbandingan Hukum Pidana Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.7
[4] Barda Nawawi Arief,  Kapita Selekta Hukum Pidana,  PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1
[6] Badar Nawawi perbandingan Hukum Pidana hal 48
[7] Ibid