Senin, 01 Oktober 2012

euthanasia



BAB I
Pendahuluan


1.1  Latar Belakang
Kehidupan dan kematian dapat diibaratka kedua sisi yang berlainan dari sebuah mata uang logam. Keduanya merupakan proses awal dan akhir kehidupan semua makhluk yang tumbuh. Tumbuhan, baik mikroorgan maupun makro. Tema yang dipilih panitia perayaan lustrum II Sekolah Tinggi Filsafat dan Teknologi St. Johannes yaitu “Budaya kematian versus kematian”, mengisyaratkan bahwa seminar membatasi kehidupan dan kematian manusia saja, sebab hanya manusia sajalah makhluk yang berbudaya. Adanya tata budaya, mengingatkan penulis pada seorang budayawan dan sastrawan besar India, yaitu Dr. Rabindranath Tagore ia pernah berkata, “ketika seorang anak manusia lahir, semua keluarga dan kerabat tertawa dan bergembira, dan hanya sang bayi yang menangis. Usahakanlah sepanjang hidupmu berbuat segala karya dan kebajikan, sehingga waktu meninggal semua orang menangis dan hanya kamu yang tertawa di nirwana”. Karena kita ingin membahas manusia, tentu saja dapat ditinjau dari aspek yang banyak dan luas pula. Makalah ini akan membatasi diri pada aspek dan moral.
Euthanasia atau yang biasa dikenal dengan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri di setarakan dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa orang lain, Berkenaan dengan persoalan “nyawa manusia”, maka satu-satunya pranata hukum pidana Indonesia yang kita bisa lihat dan bisa kaji adalah KUHP. Lebih khusus lagi, pengaturan pasal-pasal KUHP yang mendekati unsur-unsur euthanasia. Dalam kepustakaan hukum pidana di Indonesia, dikaitkan dengan KUHP, khususnya buku II BAB XIX tentang “kejahatan Terhadap Nyawa”[1]. Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum[2]. Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.[3]








Dari pamaran yang telah di jelaskan diatas oleh penulis maka timbul permasalahan sebagai berikut:
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa dampak dari Teknologi Moderen yang dapat mengakibatkan Kehidupan maupun Kematian di Indonesia?
1.2.2        Bagaimana upaya Hukum dan perlindungannya terhadap kasus Euthanasia yang terjadi di Indonesia akibat kemajuan Teknologi Moderen dalam dunia Kedokteran kehakiman dan bagaimana prosedur pengajuan euthanasia di Indonesia?
















BAB II
Pembahasan


2.1 Perkembangan Teknologi
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) akan berperan besar dalam meningkatkan layanan kesehatan warga dunia. Akselerasi penggunaan TIK dalam dunia kesehatan semakin meningkat dan mudah dengan adanya partisipasi Google Inc yang mulai menyediakan layanan Medical Record Service. Proyek percontohan Google itu telah melibatkan puluhan ribu pasien di rumah sakit Cleveland yang dengan suka rela mentransfer rekam medis mereka. Rekam medis yang terkumpul itu dipergunakan oleh Google untuk memberikan layanan melalui aplikasi terbarunya. Perlu dicatat bahwa setiap data pasien dalam rekam medis, seperti resep obat, jenis alergi, riwayat kesehatan, dan sebagainya semuanya itu dilindungi dengan mempergunakan password, seperti juga yang disyaratkan dalam layanan Google lainnya. Layanan Google tersebut semakin membuat pengelola rumah sakit ingin segera memakai dan mengintegrasikan sistem informasi dan manajemenya dengan Google demi mewujudkan sistem layanan kesehatan yang lebih efektif dan progresif.
            Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah merambah ke berbagai sektor termasuk kesehatan. Meskipun dunia kesehatan (dan medis) merupakan bidang yang bersifat information-intensive, akan tetapi adopsi teknologi informasi relatif tertinggal. Sebagai contoh, ketika transaksi finansial secara elektronik sudah menjadi salah satu prosedur standar dalam dunia perbankan, sebagian besar rumah sakit di Indonesia baru dalam tahap perencanaan pengembangan billing system. Meskipun rumah sakit dikenal sebagai organisasi yang padat modal-padat karya, tetapi investasi teknologi informasi masih merupakan bagian kecil. Di AS, negara yang relatif maju baik dari sisi anggaran kesehatan maupun teknologi informasinya, rumah sakit rerata hanya menginvestasinya 2% untuk teknologi informasi.
Di sisi yang lain, masyarakat menyadari bahwa teknologi informasi merupakan salah satu tool penting dalam peradaban manusia untuk mengatasi (sebagian) masalah derasnya arus informasi. Teknologi informasi (dan komunikasi) saat ini adalah bagian penting dalam manajemen informasi. Di dunia medis, dengan perkembangan pengetahuan yang begitu cepat (kurang lebih 750.000 artikel terbaru di jurnal kedokteran dipublikasikan tiap tahun), dokter akan cepat tertinggal jika tidak memanfaatkan berbagai tool untuk mengudapte perkembangan terbaru. Selain memiliki potensi dalam memfilter data dan mengolah menjadi informasi, TI mampu menyimpannya dengan jumlah kapasitas jauh lebih banyak dari cara-cara manual. Konvergensi dengan teknologi komunikasi juga memungkinkan data kesehatan di-share secara mudah dan cepat. Disamping itu, teknologi memiliki karakteristik perkembangan yang sangat cepat. Setiap dua tahun, akan muncul produk baru dengan kemampuan pengolahan yang dua kali lebih cepat dan kapasitas penyimpanan dua kali lebih besar serta berbagai aplikasi inovatif terbaru. Dengan berbagai potensinya ini, adalah naif apabila manajemen informasi kesehatan di rumah sakit tidak memberikan perhatian istimewa. Artikel ini secara khusus akan membahas perkembangan teknologi informasi untuk mendukung manajemen rekam medis secara lebih efektif dan efisien. Tulisan ini akan dimulai dengan berbagai contoh aplikasi teknologi informasi, faktor yang mempengaruhi keberhasilan serta refleksi bagi komunitas rekam medis[4]. Namun dalam perkembangannya tidak seluruhnya dari pekermbangan tersebut menyebabkan kemajuan yang menguntungkan bagi seseorang dampak yang disebabkan salah satunya juga adalah maraknya terjadi Euthanasia di dalam dunia kedokteran.
 2.2 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan (abortus provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia), Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian di atas adalah:
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2 Pekembangan Euthanasia
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia. Terutama berkenaan dengan penentuan kapan seorang dinyatakan telah mati.
Beberapa konsep tentang mati yang tidak di kenal adalah:
1.         Mati sebagai berhentinya darah mengalir
2.         Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
3.         Hilangnnya kemampuan tubuh secara permanen
4.         Hilangnnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur dalam PP 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipicu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati terlepas roh dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena misalnya pada tindakan resusitasi yang tidak berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
            Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan, tetapi secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpandu lagi.
            Bila di bandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhusussannya mengajukan alasan yang masuk akal mampu berbuat menikmati mengalami kecemasan dan sebagainya kemampuan untuk melakukan interaksi sosial tersebut makin banyak dipergunakan. Pusat pengendalian ini terletak dalam batang otak oleh karena itu jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi .jika penentuannya saat mati berhubungan dengan kepentingan transplantasi organ. Keputusan saat mati harus dilakukan oleh dua orang dokter atau lebih dan doketer yang menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksaaan trasplantasi tersebut.   
            Sehubungan dengan pengaturan dalam KUHP yang terkait praktek euthanasia, Petrus Yoyo Karyadi menguraikan atau mengklasifikasikan euthanasia sebagai berikut:
1.      Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan seatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri) hidup pasien.
2.      Euthanasia Tidak Langsung
Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek.
3.      Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medik kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.

Dari ketiga jenis euthanasia tersebut, Petrus Yoyo Karyadi kemudian membagi lagi kedalam tida kelompok. Masing-masing dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yang sama, yaitu:
a)      Atas permintaan pasien;
b)      Tanpa permintaan pasien ;
c)      Tanpa sikap pasien (pasien dalam keadaan koma)
Kesemua tindakan eutahasia (aktif, tidak langsung, dan pasif) dalam kelompok tersebut dapat diancam dengan euthanasia pasif atas kehendak pasien. Euthanasia pasif atas kehendak pasien tidak dipidana oleh karena berkaitan erat dengan hak-hak pasien, khususnya “hak untuk menghentikan pengobatan”[5]
            Namun  klasifikasi mengenai euthanasia bukan hanya ketiga hal yang telah disebutkan di atas, ada beberapa klasifikasi euthanasia Kartono Mohamad selain ketiga hal yang telah di jelaskan diatas juga terdapat klasifikasi Euthanasi:
4.      Euthanasia Nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang di sampaikan oleh atau pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah.
2.3upaya Hukum dan perlindungannya terhadap kasus Euthanasia yang terjadi di Indonesia

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentanglegalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan:“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3] Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
2.4 Euthanasia di Negara lain
Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi di Indonesia? Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.
Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan. Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.Sebagai bahan perbandingan.  Ternyata di negara inipun melarang adanya euthanasia[6]
2.4 Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemohon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan euthanasia.

BAB III
Penutup



3.1  Kesimpulan
3.1.1 Dampak dari Teknologi Moderen yang dapat mengakibatkan Kehidupan maupun Kematian di Indonesia adalah salah satunya dengan adanya Euthanasia namun Dari prespektif Hukum Pidana di Indonesia terhadap Euthanasia yuridis normatif pengaturan secara implisit tertuang dalam Pasal 344 KUHP. Bahkan apabila Euthanasia tidak berdasarkan prktek maka dapat di jerat dengan ketentuan pada pasa 338 (Pembuhunan) dan 340 (pembunuhan berencana).
3.1.2 Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis .Upaya Hukum untuk melindungi Kasus-kasus berat yang tidak dapat atau susah di tangani oleh dokter dan melakukan trobosan di Indonesia dengan cara yang dilakukan di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan euthanasia

3.2 Saran
3.2.1 Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral dan terutama Agama.





Daftar Pusataka

1.Gede Widhaniana. Kapita Selekta Hukum Pidana Jember 2009 Hlm 159
4.Abdal Rohim  Artikel Euthanasia prespektif medis dan dan hukum pidana di Indonesia


[1]  I Gede Widhaniana. Kapita Selekta Hukum Pidana Jember 2009 Hlm 159
[5] Ibid hlm 160
[6] Abdal Rohim  Artikel Euthanasia prespektif medis dan dan hukum pidana di Indonesia