Sabtu, 28 Desember 2013

QUO VADIS HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM MENGEMBALIKAN MARTABAT DAN PROFESIONALITAS  ADVOKAT  SEBAGAI PROFESI YANG TERHORMAT (OFFICIUM NOBILE)”
By: Gress Gustia Adrian Pah

1.1 Latar Belakang
Advokat merupakan bagian dari penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya. Dalam UU No. 18/2003 tentang Advokat ditegaskan bahwa seorang advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Advokat sebagai Penegak Hukum ialah guna memberikan bantuan hukum kepada kliennya yang bersangkutan dengan masalah hukum yang dihadapi. Kewenangan Advokat adalah sebagai lembaga penegak hukum di luar pemerintahan. Peranan seorang advokat dalam rangka menuju sistem peradilan pidana terpadu sangat diperlukan hingga tercapai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.[1]
Berdasarkan profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab menjadikan profesi advokat dapat memainkan peran signifikan dalam penegakan keadilan, hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Profesi advokat berada di garis depan dalam memperjuangkan kehidupan yang berkeadilan, berperspektif hak asasi manusia dan demokrasi yang umumnya di negara Indonesia merupakan persoalan mendasar terutama di kalangan kaum miskin dan yang tergolong tidak mampu. Profesi advokat dihadapkan pada dualisme yaitu di satu sisi, advokat tidak dapat dipungkiri adanya kebutuhan untuk dapat terus menjaga eksistensinya, baik dalam sistem kekuasaan kehakiman yang yurisdiksinya disediakan oleh negara maupun dalam sistem sosial yang legitimasinya diberikan oleh publik. Di sisi lain, advokat terikat dengan panggilan profesi yaitu memberikan bantuan hukum dengan Cuma-cuma, terutama kepada kalangan masyarakat yang secara ekonomi tergolong miskin dan tidak mampu. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 22 Ayat (1) yang menyatakan: ”advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Profesi advokat, sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun yang lampau, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Fungsi dan peran advokat dalam penegakan hukum (law enforcement) dalam praktiknya lebih dekat dengan masyarakat. Namun demikian diantara para penegak hukum yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat dalam melaksanakan penegakan hukum terdapat perbedaan yang sangat mengganggu, khususnya dalam hal hak imunitas yang dalam pelaksanaannya telah mengganggu fungsi Advokat se laku penegak hukum. dalam Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) lebih populer disebut dengan ketentuan imunitas profesi advokat. Lengkapnya berbunyi “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Profesi advokat itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia. Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi advokat kurang menjunjung tinggi idealisme profesi itu sendiri. Hal ini terjadi, karena faktor di luar dirinya yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena kurangnya penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap esensiprofesinya.[2]
Pada prakteknya, hak imunitas memang kerap “dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat yang tersangkut masalah hukum. Tepat atau tidak penerapan hak imunitas advokat dapat diuji merujuk pada norma internasional dan nasional yang berlaku. Yang pasti, tindakan advokat yang membantu kliennya memenangkan perkara dengan cara “tidak halal” seperti halnya permasalahan di Berdasarkan laporan polisi, Aling dijanjikan mendapatkan keringanan hukuman dari seumur hidup menjadi penjara selama 15 tahun dengan syarat menyediakan dana Rp3 miliar. seorang advokat yang menjanjikan klien dapat menyelesaikan kasus dengan memberikan honorarium merupakan pelanggaran kode etik advokat kategori berat. Hal dapat kita ketahui pada kasus Farhat abasyang memberikan janji pertama belum terealisasi, Farhat kembali menjanjikan Aling mendapatkan keringanan hukuman dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara dengan syarat menyerahkan uang Rp2 miliar. Farhat berjanji akan mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kali ke Mahkamah Agung. Aling sempat mentransfer uang ke rekening milik Farhat dan secara tunai melalui temannya dalam bentuk mata uang dolar Singapura dengan jumlah total mencapai Rp5,75 miliar.[3] Selain kasus tersebut dapat kita melihat kembali kasus yang tidak dapat di lupakan kasus Dr. Todung Mulya lubis, SH,LL.M. sebenarnya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai advokad harus pemberi jasa hukum harus bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; suatu hal yang telah dilakukan oleh Todung merupakan pelanggaran dalam kode etik advokat, dalam pasal 6 UU No 18 tahun 2003[4]                Kekebalan advokat terhadap proses hukum dalam mendampingi dan/atau mewakili klien tidaklah bersifat absolut. Kekebalan advokat adalah bersifat relatif. Hak imunitas advokat adalah terbatas. Salah seorang advokat, Dr Todung Mulia Lubis, mengatakan bahwa hak imunitas yang dimiliki advokat terkait posisi Ali Mazi selaku pengacara PT IndobuilCo harus dilihat secara jelas. Pada saat (seorang) advokat membela klien diduga ada melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang (hukum pidana misalnya), hal itu tidak berarti advokat bebas dari tuntutan pertanggungjawaban. Tindakan advokat yang bertentangan hukum harus pula diproses secara hukum.[5]
Oleh karena permasalahan di atas mengenai hak imunitas dan permasalahan kode etik Advokat yang membuat masyarakat mulai menurunnya moralitas dan profesional advokat maka penulis melihat perlu adanya analisis hukum untuk menyelesaikan permasalahan penegakan korupsi yang terus meresahkan masyarakat, melalui analisa dan sebuah penelitian berjudulQUO VADIS HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM MENGEMBALIKAN MARTABAT DAN PROFESIONALITAS  ADVOKAT  SEBAGAI PROFESI YANG TERHORMAT (OFFICIUM NOBILE)”

            Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam penelitian ini difokuskan pada 3 (tiga) permasalahan yaitu:
1.2 Rumusan masalah
1.2.1. Apakah implementasi  Undang-Undang No 18 tahun 2003 tentang advokat terhadap Quo Vadis Hak Imunitas Advokat dalam mengwujudkan advokat sebagai profesi terhormat  (officium nobile) ?
1.2.2 Bagaimana Quo Vadis Hak Imunitas Advokat saat ini di Indonesia?
1.2.3 Bagaimana konsep gagasan merevitalisasi integritas dan moralitas advokat dalam menjalankan profesinya untuk mewujudkan advokat sebagai profesi terhormat  (officium nobile) ?









BAB III
PEMBAHASAN

4.1 Implementasi  Undang-Undang No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Terhadap Quo Vadis Hak Imunitas Advokat Dalam Mengwujudkan Advokat Sebagai Profesi Terhormat  (Officium Nobile).
Banyaknya fenomena yang terjadi dalam beberapa kasus mengenai Advokat saat ini merupakan hal yang fenomena yang sangat ironis, profesi advokat sebagai profesi yang mulia dan profesi yang terhormat. Kejadian-kejadian seperti kasus diatas sungguh ironis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dinamika organisasi profesi advokat sangat tinggi, bahkan kerap berujung konflik seperti pemasalahan kasus Farhat Abas, Todung Mulya Lubis begitupun kasus tindak pindana korupsi suap pengurusan kasasi kasus pidana penipuan terdakwa Hutomo Wijaya Onggowarsito yang melibatkan keponakannya, Mario C. Bernardo[6] dan Susi TA yang terkait dengan kasus Akil[7].  Sehingga dalam perkembangannya selalu dinamika profesi advokat selalu mengalami pasang surut. Mulai dari perkembangan istilah bagi profesi ini, sampai yang paling terakhir adalah pembentukan organisasi advokat yang untuk pertamakalinya dilindungi secara khusus dalam Undang-Undang Advokat. Undang-Undang ini secara yuridis telah mampu mengatasi beberapa permasalahan yang selama ini mendera profesi tersebut. Penggunaan  istilah Advokat dalam undang-undang telah mampu ‘memanunggalkan” beragam penggunaan istilah profesi ini sebelumnya, seperti pengacara praktik, penasehat hukum, pengacara.  
Namun yang paling penting dari penerbitan undang-undang ini adalah mengakui bahwa Advokat adalah profesi penegak hukum dan menjadi bagian dari catur wangsa. Posisi yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh advokat dalam praktek hukum di Indonesia. Advokat selalu menjadi sub-varian dari 3 (tiga)  institusi penegak hukum lainnya yakni hakim, jaksa dan kepolisian. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini, secara yuridis formal telah mensejajarkan profesi advokat  dengan profesi penegak hukum lainnya. Sehingga secara substansi pengakuan ini menjadikan profesi advokat yang merupakan profesi terhormat (officium nobile) semakin terlegitimasi.
Dalam aras ini, advokat adalah public defender, tentu saja dalam konteks penegakan hukum dan keadilan.  Kemuliaan profesi ini berusaha dijaga sedemikian rupa oleh organisasi-organisasi profesi advokat dengan membentuk kode etik profesi advokat berdasarkan mandat dari UU no. 18 th 2003 tentang advokat. Sejatinya selain untuk melindungi advokat dalam menjalankan profesinya, kode etik profesi advokat ini terlahir adalah untuk melindungi masyarakat dari perilaku yang tidak patut dari advokat. Pembebanan kewajiban ini pula yang dibebankan kepada para advokat dalam menjaga citra, martabat dan kehormatan profesi advokat.
Tinjauan Atas Dugaan Pelanggaran Kode Etik Advokat dalam kasus pembunuhan Prabangsa Kembali kepada perilaku-perilaku advokat sebagaimana yang penulis paparkan di awal. Bila dikaitkan dengan Kode Etik Advokat Indonesia, maka perilaku advokat dalam perkara pembunuhan Prabangsa sesungguhnya telah bertentangan dengan kewajiban-kewajiban bagi seorang advokat sebagaimana yang diatur dalam Kode etik Advokat Indonesia. Sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia yang menyatakan bahwa”Kode Etik Advokat Indonesia sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya (huruf tebal dari penulis) baik kepada Klien, Pengadilan, Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Secara gamblang perilaku tersebut bertentangan dengan roh dari kode etik termaksud yang mewajibkan seorang advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada Klien, Pengadilan, Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.  Frase jujur dan bertanggung jawab dalam profesinya adalah spirit dari penjabaran ketentuan-ketentuan  berikutnya dalam kode etik ini.  Tentu saja jujur dan bertanggung jawab adalah menjauhkan tindakan-tindakan tidak terpuji yang dapat merendahkan citra dan martabat serta mencederai kehormatan profesi advokat sebagai profesi mulia. Frase tersebut jelas-jelas tidak memberikan tafsir lain kecuali bahwa advokat wajib mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan. Maka memaknainya adalah advokat tidak boleh melakukan upaya-upaya yang menyimpang dalam penegakan dharma hukum tersebut. Terlebih berupaya mengaburkan pembuktian untuk mencari kebenaran materiil dengan merekayasa dan atau mengarahkan keterangan saksi demi kepentingan kliennya semata-mata. Justru dalam posisi itu, advokat tersebut sedang melakukan viktimisasi terhadap korban. mengingat esensi dari penegakan hukum adalah memberikan keadilan kepada korban dengan proses peradilan yang obyektif. Viktimisasi terhadap korban adalah pencederaan terhadap hak-hak korban untuk mendapatkan reparasi. Salah satunya adalah hak korban untuk mendapatkan keadilan. Pencederaan ini tentu saja bertentangan dengan hak asasi manusia yang secara tegas menyatakan bahwa hak korban atasreparasi adalah hak asasi manusia yang tidak boleh diabaikan. Dalam konteks ini maka Advokat tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia yang menyatakan: “Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia”.Hal yang paling prinsip dalam kasus ini adalah dugaan atas perilaku advokat tersebut bertentangan dengan Bab VI; Cara Bertindak Menangani Perkara terutama pada pasal 7 huruf e, Kode Etik Advokat Indonesia yaitu: “Advokat tidak dibenarkan mengajari atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.” Hal ini berarti bahwa apapun motif dan kepentingan dibalik tindakan-tindakan yang mengajari atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan pihak lawan  tidak dapat dijadikan pembenaran bahkan dijadikan pertimbangan meringankan sekalipun termasuk dengan alasan dilakukan untuk melindungi kepentingan klien. 


Jika berbicara mengenai hak imunitas Advokat maka penulis berpendapat berangkat dari ketentuan Pasal 27 (1) UUD 1945[8], Seperti yang kita ketahui bahwa advokat juga tunduk pada prinsip-prinsip kewarganegaraan dan prinsip-prinsip hukum pada umumnya seumpama ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas. Oleh karena itu ketika kita melihat  pada UU No.: 18/2003 tentang Advokat, di mana Pasal 16 [9]. Dengan alasan-alasan yang tidak begitu jelas, bunyi pasal ini telah terlanjur tersosialisasikan di tengah-tengah masyarakat secara tidak lengkap, yakni tanpa frase: dengan itikat baik. Itu sebabnya, Pasal 16 UU No.: 18/2003 tentang Advokat secara salah telah dipahami oleh sementara kalangan sebagai aturan yang memuat ketentuan tentang kekebalan hukum bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam pemahaman  penulis menganalisa bahwa  kekebalan hukum dalam kerangka gagasan rule of law[10], di mana salah satu unsurnya adalah equality before the law tentu saja suatu contradictio in terminis[11] Oleh karena itu, terasa adanya kebutuhan untuk mengkolerasikan kembali  ketentuan Pasal 16 UU No: 18/2003 tentang Advokat yang berbunyi: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikat baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya dalam sidang pengadilan.
 Secara a contrario, ketentuan Pasal tersebut mengandung makna bahwa advokat dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana apabila dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikat tidak baik untuk kepentingan pembelaan kliennya dalam persidangan pengadilan, dan mengenai hak imunitas ini pula yang harus di berikan sebuah parameter dan batasan yang harus di atur di dalam undang-undang Advokat sehingga tidak di gunakan para advokat dalam melindungi dirinya untuk tidak terjerat dengan kasus hukum.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sikap tentang keberlakuan kode etik profesi dan hubungannya dengan norma hukum tidak sepenuhnya sebagaimana saya uraikan di atas. Sebagian karena ketidak-pahaman, akan tetapi sebagian besar karena faktor kepentingan riel. Dalam kenyataannya, kode etik tidak jarang digunakan justru sebagai sarana untuk menghindari pemberlakuan norma hukum di bidang yang menjadi ranah keberlakuan kode etik yang bersangkutan. Dengan kerangka berpikir seperti itu, penulis berpandangan untuk melanjutkan upaya memperkarakan para advokat tersebut di atas, baik pada ranah hukum pidana maupun pada ranah hukum perdata. Bukan atas nama hasrat pribadi semacam amarah ataupun dendam, melainkan lebih pada semacam upaya untuk memperlihatkan betapa di tengah-tengah kita masih terdapat hal-hal yang bersifat problematik namun selama ini praktis terabaikan, disengaja ataupun tidak disengaja.
4.2 Quo Vadis Hak Imunitas Advokat saat ini di Indonesia
Ketentuan dalam pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) lebih populer disebut dengan ketentuan imunitas profesi advokat. Lengkapnya berbunyi “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Pasal 16 UU Advokat berakar pada beberapa norma yang berlaku universal. Merujuk pada buku “Advokat Mencari Legitimasi” terbitan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia yang didukung oleh The Asia Foundation, setidaknya ada tiga norma internasional yang memuat ketentuan imunitas profesi advokat. Pertama, Basic Principles on the Role of Lawyers yang merekomendasi kepada negara-negara anggota PBB untuk memberikan perlindungan terhadap advokat dari hambatan-hambatan dan tekanan dalam menjalankan fungsinya. Kedua, International Bar Association Standards. Pada butir delapan disebutkan “seorang advokat tidak boleh dihukum atau diancam hukuman, baik itu hukum pidana, perdata, administratif, ekonomi maupun sanksi atau intimidasi lainnya dalam pekerjaan membela dan memberi nasehat kepada kliennya secara sah”. Ketiga, Deklarasi yang dibacakan pada World Conference of the Independence of Justice di Kanada, 1983. Dalam Deklarasi dinyatakan bahwa harus ada sistem yang adil dalam administrasi peradilan yang menjamin independensi advokat dalam melaksanakan tugas profesionalnya tanpa adanya hambatan, pengaruh, pemaksaan, tekanan, ancaman atau intervensi.  
Dari ketiga norma internasional di atas, benang merah yang dapat disimpulkan adalah hak imunitas ini semata bertujuan untuk melindungi advokat dalam menjalankan fungsi profesinya, khususnya terkait pembelaan dan pemberian nasehat kepada klien. Hal ini secara tegas juga disebutkan dalam pasal 16 UU Advokat, khususnya pada frasa “….dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Dibandingkan tiga norma internasional yang disebutkan tadi, pasal 16 UU Advokat “mempersempit” lingkup tindakan advokat yang dapat dilindungi yakni “tindakan dalam sidang pengadilan”. Pada bagian penjelasan, “dalam sidang pengadilan” didefinisikan “sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan”.
Pada frasa itu juga dicantumkan satu syarat penting bilamana hak imunitas dapat diterapkan. Syarat itu adalah itikad baik. Penjelasan pasal 16 UU Advokat menyatakan “itikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak imunitas memang dibutuhkan, tetapi penggunaannya tidak bisa sesuka hati. Norma internasional maupun nasional menyebutkan beberapa syarat definitif yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan hak imunitas. Dua syarat yang utama adalah tindakan advokat tersebut terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi profesinya. Selain itu, tindakan itu juga harus didasari itikad baik yang secara sederhana dapat didefinisikan “tindakan yang tidak melanggar hukum”. Pada prakteknya, hak imunitas memang kerap “dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat yang tersangkut masalah hukum. Tepat atau tidak penerapan hak imunitas advokat dapat diuji merujuk pada norma internasional dan nasional yang berlaku. Yang pasti, tindakan advokat yang membantu kliennya memenangkan perkara dengan cara “tidak halal” (baca: melanggar hukum) tidak dapat berlindung di balik hak imunitas advokat.

.4.3 konsep gagasan merevitalisasi integritas dan moralitas advokat dalam menjalankan profesinya untuk mewujudkan advokat sebagai profesi terhormat  (officium nobile)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, membuat kebutuhan akan jasa hukum semakin meningkat. Begitu juga dengan meningkatnya permasalahan dalam masyarakat, baik publik maupun privat mengakibatkan kebutuhan akan jasa hukum seorang advokat juga semakin tinggi. Advokat merupakan profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya seorang advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat.  Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia saat ini mempunyai advokat dalam jumlah yang cukup besar yang berasal dari berbagai pelosok di Indonesia. Jumlah advokat yang sangat besar ini menuntut adanya dewan etika yang dapat mengawasi perilaku dan etika seorang advokat. Menurut Bertens, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan berperilaku sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik Advokat Indonesia merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, UUD, lawan berperkara, rekan advokat atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Advokat sebagai profesi hukum (officium nobile) dalam menjalankan profesinya harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi.  Namun, Advokat Indonesia saat ini justru mengalami penurunan kualitas dan moralitas dibandingkan dengan advokat-advokat senior yang dahulu masih aktif dan berjuang pada era Orde Baru dan Orde Lama. Pada saat itu advokat masih berjuang dengan hati nurani, objektif dan berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang ada. Sekarang advokat banyak yang terlibat dalam korupsi yudisial.
Apa yang terjadi dengan kondisi dewan kode etik saat ini? Dewan kode etik yang saat ini ada hanyalah dewan kehormatan advokat yang dimiliki oleh Peradi, namun melihat konsep wadah tunggal ini apakah adil apabila seorang advokat yang dianggap melanggar kode etik kemudian diperiksa hanya oleh dewan kehormatan Peradi tanpa adanya pengawasan dalam dewan kehormatan tersebut.  Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para advokat semakin banyak terjadi, namun pelanggaran-pelanggaran tersebut masih saja dibiarkan oleh dewan kehormatan. Sebagai contoh, advokat yang setelah membela seorang klien ketika sedang berperkara kemudian dengan mudahnya berpindah dengan membela seorang klien yang sebelumnya pernah menjadi lawannya. Hal ini secara etis tentu saja tidak dapat dibenarkan karena akan menimbulkan conflict of interest. Padahal kode etik advokat itu adalah suatu hal yang sangat prinsipal sehingga setiap advokat harus memperoleh pengetahuan lebih dari sekadar pengetahuan di universitas mengenai praktik advokat khususnya sekarang adalah mengenai kode etik advokat.  Konflik berkepanjangan antarorganisasi profesi advokat melahirkan persaingan tidak sehat antaradvokat. Mereka hanya mengejar profit semata tanpa melihat supremasi hukum dan keadilan. Organisasi advokat saat ini lebih mengejar kuantitas dengan melahirkan sebanyak mungkin advokat dari organisasinya tanpa adanya kurikulum berkualitas dan teruji standarisasinya sehingga output yang dihasilkan pun pantas diragukan. Itulah sebabnya komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak diperbolehkan. Akibat komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat, kualitas advokat patut dipertanyakan. Hal ini berdampak pada tidak berdayanya organisasi advokat mengurangi praktek korupsi yudisial yang melibatkan advokat-advokat yang menjadi anggotanya. Penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak boleh dimonopoli, justru penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat dilakukan bersama-sama negara dan pihak-pihak terkait lainnya yang ditunjuk negara.  
Melihat kenyataan di atas sekarang sudah tiba waktunya setelah 8 tahun lebih UU advokat diundangkan dan melihat keributan-keributan dan perselisihan yang terus-menerus di tubuh organisasi advokat, maka UU advokat perlu diamandemen dengan mengatur kursus (pelatihan) dan ujian advokat lebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadi komersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah Agung RI dan pihak-pihak terkait. Konsep wadah tunggal yang mulai dicetuskan sejak jaman Orde Baru sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi karena gagal total. Konsep wadah tunggal adalah inisiatif pemerintah Orde Baru yang korporatis dan ingin mengontrol advokat dalam satu organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada 4 organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu IKADIN, AAI, PERADI dan KAI. Tidak aneh karena konsep wadah tunggal yang sifatnya top down dan bukan aspirasi advokat Indonesia, akhirnya menimbulkan gelombang protes dari para advokat setelah diundangkannya UU advokat sejak tahun 2003 dan aksi protes serta gugatan ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai nanti ada penyelesaian melalui Kongres advokat Indonesia dan amandemen UU Advokat.  Organisasi advokat menjadi tidak fokus pada peningkatan mutu dan kualitas advokat serta pemberantasan korupsi yudisial, karena organisasi advokat yang tidak solid dan ribut terus menerus. Kursus (pelatihan) advokat, ujian advokat, CLE (Continuing Legal Education), rekrutmen, pelatihan, penyumpahan, kurikulum pendidikan advokat dan lain-lain akan terbengkalai dan akan berakibat kepada mutu pelayanan dan pemberian jasa hukum (legal services) kepada masyarakat c.q. para pencari keadilan menjadi rendah dan berbagai pelanggaran kode etik tidak ditanggulangi sebagaimana seharusnya.  Padahal apabila organisasi profesi advokat di Indonesia mempunyai manajeman organisasi berkualitas yang dapat melahirkan advokat-advokat berkualitas dan berbakat, maka hal ini justru akan semakin meningkatkan mutu putusan dan membantu hakim-hakim dalam memutus perkara.
Hakim akan lebih mudah mengambil keputusan dalam setiap perkara apabila dihadapkan dengan advokat-advokat berkualitas dan berbakat dengan mengambil argumen hukum berkualitas yang diberikan oleh advokat tersebut. Proses peradilan dalam hal ini oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem hukum Civil Law disebut Investigation by magistrate. Dengan ini diharapkan putusan yang diambil oleh hakim akan menjadi baik dan adil jika advokatnya pun baik dan berkualitas. Namun yang terjadi saat ini adalah mutu putusan pengadilan merosot, sering kali tidak adil dan tidak bermutu, dimana tidak sedikit advokat-advokat yang justru terlibat dalam Korupsi Yudisial dalam hampir setiap proses peradilan. Hal ini menunjukkan betapa merosotnya kualitas advokat di Indonesia.[12]
Langkah yang diperlukan untuk meningkatkan mutu dan pengawasan profesi advokat adalah dengan membentuk Dewan Etika Profesi Advokat Nasional oleh organisasi-organisasi profesi advokat yang ada di Republik Indonesia yang bertujuan untuk melakukan pengawasan perilaku dan penegakan kode etik profesi advokat secara efektif, serta penindakan terhadap advokat yang berasal dari organisasi manapun yang melanggar kode etik profesi advokat. Dewan ini akan melibatkan tokoh masyarakat, budayawan, advokat-advokat senior yang berintegritas, mantan hakim dan jaksa kredibel dan tokoh-tokoh dari berbagai organisasi profesi advokat dan anggota dari organisasi penegak hukum. Organisasi-organisasi advokat kelak akan membentuk Komite Etik untuk melakukan fit and proper test terhadap tokoh-tokoh masyarakat, budayawan, advokat, mantan hakim, mantan jaksa dan tokoh-tokoh lainnya yang mempunyai kredibilitas dan integritas yang layak untuk menjadi anggota Dewan Kode Etik Profesi Advokat.
Dengan adanya Dewan Etika Profesi Advokat Nasional ini maka dapat dihindari adanya advokat “kutu loncat” baik yang terkena teguran, sanksi skorsing (pemecatan sementara) maupun pemecatan seumur hidup, namun masih tetap bisa berpraktik di Pengadilan dengan berpindah ke organisasi advokat lain karena putusan-putusan dewan kehormatan organisasi advokat tidak ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh seluruh lembaga peradilan di seluruh Indonesia, seperti pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara. Hal ini untuk mengikis semangat “esprit de corps”. Advokat harus benar-benar profesional dan tidak menggunakan organisasi sebagai tameng untuk berlindung dari pelanggaran kode etik. Dengan ini etika profesi advokat akan dapat ditegakkan dan advokat lebih diawasi secara ketat dan tegas. Penulis berpendapat  Dewan advokat daerah fungsi sebagai regulator, mengawasi pendidikan, pengawasan dan kode etik advokat juga harus di dan di bentuk di daerah. BAB IV
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.1.1. Implementasi  Undang-Undang No 18 tahun 2003 tentang advokat terhadap Quo Vadis Hak Imunitas Advokat dalam mengwujudkan advokat sebagai profesi terhormat  (officium nobile) ternyata dalam perjalannya tidak sesuai dengan semangat lahirnya Undang-Undang Advokat tersebut, hal ini di sebabkan banyaknya permasalahan yang kerap terjadi antara organisasi Advokat sendiri sehingga dalam perjalannanya Undang-undang Advokat tersebut, tidak dapat mencerminkan  advokat sebagai profesi terhormat  (officium nobile).
4.1.2  Quo Vadis Hak Imunitas Advokat saat ini di Indonesia hak imunitas            memang kerap “dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat yang     tersangkut masalah hukum. Tepat atau tidak penerapan hak imunitas             advokat dapat diuji merujuk pada norma internasional dan nasional yang    berlaku. Yang pasti, tindakan advokat yang membantu kliennya      memenangkan perkara dengan cara “tidak halal” (baca: melanggar hukum)             tidak dapat berlindung di balik hak imunitas advokat
4.1.3    Konsep gagasan merevitalisasi integritas dan moralitas advokat dalam            menjalankan    profesinya untuk mewujudkan advokat sebagai profesi terhormat          (officium nobile) maka UU advokat perlu diamandemen dengan mengatur kursus (pelatihan) dan ujian advokat lebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadi komersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah Agung RI dan pihak-pihak terkait. Konsep wadah tunggal yang mulai dicetuskan sejak jaman Orde Baru sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi karena gagal total. Konsep wadah tunggal adalah inisiatif pemerintah Orde Baru yang korporatis dan ingin mengontrol advokat dalam satu organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada 4 organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal yaitu IKADIN, AAI, PERADI dan KAI. Tidak aneh karena konsep wadah tunggal yang sifatnya top down dan bukan aspirasi advokat Indonesia, akhirnya menimbulkan gelombang protes dari para advokat setelah diundangkannya UU advokat sejak tahun 2003 dan aksi protes serta gugatan ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai nanti ada penyelesaian melalui Kongres advokat Indonesia dan amandemen UU Advokat.

4.2 Saran
1.     Untuk mendukung hasil penelitan mengenai pemahaman hak imunitas advokat maka perlu adanya penelitian lanjutan dalam bentuk melakukan terhadap kasus-kasus dalam hal mana pelakunya atau tersangka atau terdakwanya adalah advokat yang terlibat dugaan tindak pidana pada saat melaksanakan tugas profesinya.
2.     Diperlukannya adanya suatu forum bersama antara para penegak hukum termasuk organisasi-organisasi advokat untuk menyeragamkan pemahaman mengenai hak imunitas advokat




















DAFTAR BACAAN



Frans Hendra Winarta, 200, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan      Belas Kasihan, Jakarta, PT. Elex Media Computindo Kelompok           Gramedia

C.S.T. Kansil, Crhristine S.T. 2006 Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum,       Jakarta: Pradnya Paramita,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,           Jakarta: Balai

B. Arief Sidharta, 2004 “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam        Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan           Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II

Muladi (editor), 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya        dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Jakarta, PT Refika Aditama
Luhut M.P. Pangaribuan, 1996Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di        Dewan Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta

Harlen Sinaga V2011 ,Dasar-Dasar Profesi Advokat,Erlangga,2011,Jakarta

Ilham Gunawan dan Martinus Sahrani, 2003 Kamus Hukum (Cet.I; Jakarta: Restu             Agung, 2002). UU Advokat Indonesia (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika,    2005). Abdullah Gofar, Profesi Advokat bagi Sarjana Syariah dan Standar     Kualifikasi Bidang Hukum dalam Mimbar Hukum No.61 Mei 2003             (Jakarta: al- Hikmah dan Ditbinpera






INTERNET


http://siburiandanrekan.com/id/?page_id=22 terakhir di akses pada tanggal 13 Desember 2013 pada pukul 22.35 WIB

http://latihanetikaprofesi.blogspot.com/2013/04/etika-profesi-pada-kasus-todung-mulya.html terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=158418 terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB

http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=896 terakhir diakses hari Rabu, 13 Movember 2013 pukul 22.41 WIB

http://mtaufiq-advokat.blogspot.com/2010/03/eksistensi-dan-hak-imunitas-advokat.html. terakhir diakses hari Rabu, 13 Movember 2013 pukul 23.05 WIB





[1] Muladi (editor), 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Jakarta, PT Refika Aditama, hlm. 22.
[2]  Frans Hendra Winarta, 200, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta, PT. Elex Media Computindo Kelompok Gramedia, hlm
[5] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=158418 terahkir diakses tanggal 13 Desember 2013 pukul 17:42 WIB
[8] Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
[9] Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikat baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya dalam sidang pengadilan.
[10] B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, Desember 2004, hal.124
[11] Ibid

Kamis, 07 Maret 2013




“Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Perlindungan Hukum Whistle Blower Participant dan Stategi Pemberantasan Korupsi secara Intergral dalam Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia”
By: Gress Gustia Adrian Pah

ABSTRAK

Sasaran “restorative justice” bukan hanya kepada pelaku , tetapi juga kepada korban,  dan saksi serta masyarakat. Dalam pandangan Restorative Justice, kepentingan korban dan saksi sangat diperhatikan. Sama pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi dan membantu untuk mengukap para pelaku. Urgensi whistleblower untuk menuntut keberhasilan dalam suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil di ungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum. Dalam banyak kasus, pelapor tidak dapat dikategorikan sebagai saksi (mendengar atau mengalami) namun laporannya sangat bermanfaat untuk mengungkap kejahatan. Dalam konteks(mafia in the judiciary system) atau mafia hukum pengukapan suatu kejahatan yang teorganisir (organized crime) atau kejahatan dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan tersebut (participant whitleblower). Sehingga jika dalam hal pemberantasan korupsi yang banyak terjadi di lembaga pemerintahan (pusat dan daerah), perusahaan-perusahaan swasta, BUMN. BUMD, dan perbankan betul-betul ingin di berantas maka konsep perindungan peniup peluit/informan harus benar-benar diatur secara komperhensi dalam sebuah undang-undang. Maka perlindungan terhadap participant whistkeblower/ coperating witness/justice collaborator harus secara jelas diatur dalam undang-undang.  Selain hal tersebut dalam permasalahan pemberantasan korupsi penting untuk adanya  upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi. Strategi demikian tentunya lebih bersifat frgmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-oleh hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor pembaharuan udang-undangan. Padahal jika di lihat dari sudut kebijaksanaan kriminal, strategi dasar penyalahgunaan kejahatan ( the basic crime prevention strategi) seyogiannya diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadi kejahatan (korupsi).

Kata Kunci  Restorative Justic,  Urgensi perindungan whistleblower, pemberantasan korupsi, strategi intergral dalam pemberantasan koruspsi















Latar Belakang
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.
Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative sebagai  nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative  peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku. Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat sejumlah kelemahan terutama dalam kasus Whistle Blower Participant penting untuk menjadi perhatian khusus untuk memberikan perlindungan karena itu juga dapat menjadi salah satu bagian untuk mendukung upaya pembetantasan Korupsi di Indonesia, selain itu Upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi.
 Dari latar belakang tersebut maka timbulah beberapa permasalahan yaitu
         Bagaimana Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Perlindungan Hukum Whistle Blower Participant?
         Bagaimana Stategi Pemberantasan Korupsi secara Intergral dalam Upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia?

BAB I
PEMBAHASAN

1.1  Restoratif Justice
Definisi “restorative justice is concerned with healing victims wounds, restoring offenders to law abiding lives, and repairing harm done to interpersonal relationships and the community” Yang artinya kurang lebih “ restorative justice (keadilan restoratif) berfokus untuk menyembuhkan luka yang diderita korban (fisik maupun psikis), membuat pelaku menjadi taat hukum, memperbaiki hubungan sesama manusia serta kepada masyarakat akibat suatu tindak pidana;[1]
Dikutip dari Greif, menurut Liebmann, keadilan restoratif merupakan keseimbangan dari 1.    Terapetik (pemulihan) dan retributif (penghukuman);
2.    Hak Pelaku dan hak serta kebutuhan korban;
3.    Kewajiban untuk merehabilitasi pelaku dan kewajiban melindungi kepentingan umum;
DR. Eva Achjani Zulfa
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini
Jadi sasaran “restorative justice” bukan hanya kepada pelaku , tetapi juga kepada korban,  dan saksi serta masyarakat. Dalam pandangan Restorative Justice, kepentingan korban dan saksi sangat diperhatikan. Sama pentingnya dengan upaya membuat pelaku menjadi sadar dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi dan membantu untuk mengukap para pelaku. Jika kedua hal ini telah terpenuhi, maka diharapkan kehidupan sosial masyarakat dapat pulih kembali.
Para penganut paham ini berpedapat karena hukum bertitik tolak tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada korban serta masyarakat, maka penegakan hukum inilah yang dianggap paling adil;[2]
3 Prinsip Restorative Justice:
1.    keadilan harus dapat memulihkan mereka yang telah terluka;
2.    Setiap pihak yang terkena dampak dari suatu tindak pidana (korban) memilik kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam penegakan hukum;
3.    Peran pemerintah hanya untuk menjaga ketertiban umum. Sedangkan peran masyarakat adalah untuk membangun dan memelihara perdamaian;
Karakteristik Restorative Justice
1.    Pertemuan: kesempatan bagi korban, pelaku dan tokoh masyarakat untuk mendiskusikan akibat dari suatu tindak pidana serta bagaimana solusinya;
2.    Ganti Rugi: diharapkan pelaku dapat memperbaiki akibat yang ditimbulkan;
3.    Reintegrasi: diharapkan hubungan antara pelaku, korban, serta kehidupan bermasyarakat dapat pulih kembali;
4.    Penyertaan: memberikan kesempatan kepada orang yang menyuruh melakukan, menganjurkan maupun turut serta melakukan untuk berpartisipasi berdiskusi dan memberikan solusi perbaikan atas akibat yang ditimbulkan;
Partisipasi korban dalam restorative justice bukanlah suatu keharusan, tapi merupakan hak bagi korban. Hak ini diberikan setelah korban menerima informasi secara penuh mengenai peran korban, peran pelaku, serta informasi penuh mengenai sistem peradilan.
Di Kanada (negara yang pertama kali menerapkan sistem restorative justice), restorative justice bisa dilakukan tanpa melalui proses peradilan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
Pelaku mengaku bersalah dan bersedia bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang ia lakukanKorban secara bebas, tanpa paksaan dari pihak manapun menyetujui proses restorative justice di luar peradilan; perlindungan terhadap whistle blower atau peniup peluit seharusnya dilakukan, agar sang whistle blower mampu mengungkap kasus korupsi secara komperhensif.  Sedangkan, yang dimaksud dengan whistle blower participant adalah whistle blower yang turut terlibat dalam kasus korupsi. Whistle blower participant ini misalnya adalah Susno Duadji dan Agus Tjondro. Mereka patut diapresiasi karena keberaniannya untuk mengungkap kasus dimana diri mereka terlibat.  Namun demikian, undang - undang di Indonesia belum sama sekali mengatur perlindungan terhadap whistle blower participant ini, sehingga mereka rawan dikriminalisasi upaya optimalisasi perlindungan terhadap saksi masih membutuhkan proses cukup panjang. Dia mengatakan, saat ini LPSK sedang mengajukan revisi UU No.13 Tahun 2006. “Revisi ini dikhususkan mengatur mengenai jaminan perlindungan khusus dan reward bagi whistleblower dan justice collaborator pentingnnya dukungan masyarakat, pemerintah dan DPR terhadap upaya revisi UU No.13 Tahun 2006 dapat terwujud dengan masuknya revisi UU ini dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013.
Upaya optimalisasi perlindungan terhadap Whistleblower dan justice collaborator seharsunya berbanding lurus dengan penguatan kelembagaan LPSK, sehingga penguatan kelembagaan itu pun harus ada dalam revisi UU No.13 Tahun 2006.  selain ini yang perlu di perhatikan adalah whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan perusahaan atau institusi tempat dia bekerja dasar hukum bagi perlindungan bagi whistleblower adalah sebagai berikut pasal 10 ayat 1UU PSK:” saksi, korban, dan pela[or, tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. Kemudian pada pasa 10 ayat (2) UU PSK:’ seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebeaskan dari tuntutan pidana, apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan besalah tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang kan dijatuhkan . Mengacu ke Amerika Serikat, setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom dan Enron, lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 kemudian menjadi payung hukum yang melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang terjadi.  Jika aparat penegak hukum dapat memberikan jaminan hukum dan keamanan kepada saksi pelapor, apalagi ditambah pemberian reward seperti di Korea Selatan, tentunya akan lebih banyak orang yang “berani” melaporkan berbagai penyimpangan atau korupsi, atau bahkan menjadikan dirinya “martir” pemberantasan korupsi di negeri ini. Dalam konteks(mafia in the judiciary system) atau mafia hukum pengukapan suatu kejahatan yang teorganisir (organized crime) atau kejahatan dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta dalam kejahatan tersebut (participant whitleblower). Sehingga jika dalam hal pemberantasan korupsi yang banyak terjadi di lembaga pemerintahan (pusat dan daerah), perusahaan-perusahaan swasta, BUMN. BUMD, dan perbankan betul-betul ingin di berantas maka konsep perindungan peniup pelit/informan harus benar-benar diatur secara komperhensi dalam sebuah undang-undang. Maka perlindungan terhadap participant whistkeblower/ coperating witness/justice collaborator harus secara jelas diatur dalam undang-undang. [3]

1.2 Stategi Pemberantasan Korupsi
Upaya staregi pemberantasan korupsi seolah-olah di fokuskan pada upaya memperbaruhi undang-undang. Jadi terfokus pada strategi “ law refrom’ saja, khususnya pembaruhan UU pemberantasan Korupsi. Strategi demikian tentunya lebih bersifat frgmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-oleh hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor pembaharuan udang-undangan. Padahal jika di lihat dari sudut kebijaksanaan kriminal, strategi dasar penyalahgunaan kejahatan ( the basic crime prevention strategi) seyogiannya diarahkan pada upaya meniadakan (meneliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kuasa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadi kejahatan (korupsi). Jadi, diperlukan pendekatan/strategi intergral dalam arti,
         tidak hanya strategi penanggulangan simptomatik dan reprensif lewat pembaharuan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulanngan kausatif dan preventif,
         tidak hanya melakukan ‘law refrom’ tetapi juga sosial economic, political, maral, and administrative refrom
         tidak hanya melakukan pembaharuan UU korupsi , tetapi juga pembaharuan semua peraturan perundangundang yang lain yaitu undang-undang yang memberikan peluang untuk terjadinnya korupsi/KKN, antara lain di bidang politik, ekonomi, keuanngan, perbangkan, kesejatrahan sosial, kode etik proposional dan perilaku pejabat, nirokrasi administratif dan sebagainya.
Strategi intergral demikian diperlukan karena kausa dan konsisi yang dapat menjadikan peluang timbulnnya korupsi sangan komples, shingga masalah korupsi sangan kempoles, sehingga masalah korupsi sarat dengan berbagai komplesitas masalah. Antara lain, masalah sikap mental/moral, masalah pola/ sikap hidup dan budaya sosial, masalah lingkunngan sosial kesenjangan sosial ekonomi, masalah kebutuhan /tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/ budaya politik, masalah lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi kausa dan konsis yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi bisa terjadi di bidang morl, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya. Di samping oitu krupsi, pada hakikatnnya mengandung aspek yang sangat luas. Korupsi tidak hanya mengandung aspek ekonomi (yaitu merugikan keungan /perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga korupsi jabatan, korupsi kekuasaan, korupsi politik, korupsi nilai-nilai demokrasi, korupsi modal dan sebagainnya. Mengingat aspke yang luas itu, dan bahkan dimasukkan juga dalam salah satu bentuk transnational crime.
            Jadi korupsi terkait dengan masalah dan ruang gerak yang cukup luas. Oleh karena itu, apabila upaya penanggulangan korupsi ingin ditempuh lewat penegakan hukum, maka harus pula dilakukan analisis dan pembenahan intergral terhadap semua peraturan perundang-udangan yang terkait. Artinya, tidak hanya melakukan evaluasi dan pembaharuan (reformasi) terhadap UU pemberantasan Korupsi (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ) tetapi juga misalnya U dibidang Tindak Pidana Ekonomi, Perbankan, Perdagangan, Kepabeanan, Kesejatrahan sosial, politik dan sebagainya. Bahkan tidak hanya membenahi peraturan untuk mencegah/memberantas terjadinnya tindak pidana korupsi, tetapi juga membenahi peraturan yang diharpkan mampu mengantisipasi segala aktivitas setelah terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam resolusi Kongres PBB ke 8/1990 tentang corruption in goverment antara kain direkomendasikan, agar negara anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi (improved banking and financial regulations to prevent capital flight ). Disamping itu, mengungat sifatnya yang tradisional, maka kerja sama regional dan internasional dalam upaya pemberantasan korusi juga perlu ditingkatkan. Hal ini diperlukan karena dalam dokumen kongres PBB ke 9 11995 diungkapkan adanya kesulitan memberantas praktik korupsi sebagai berikut.  Di banyak yuridiksi, melakukan dan meneima suap merupakan suatu tindak pidana. Akan tetapi dalam hubungannya dengan transaksi tradisional (transnational transactions) sering hal ini tidak cukup untuk mencegah praktik-praktik korupsi karena
         si penyuap sering berapa dalam yuridiksi lain yang sulit di jangkau oleh UU dari Negara tempat pejabat itu di suap
         sangatlah sulit menditeksi apakah pembayaran (pemberian suap, pen) itu telah dilakukan, karena misalnnya melaui transfer elektronik
         walaupun UU melarang perbuatan demikian namun budaya komersial (comemercial culture) yang berlaku di negara pejabat yang bersangkutan mendorong/mendukung praktik-praktik demikian, baik secara ekspisit maupun implisit.[4]
















BAB II
KESIMPULAN

2.1 KESIMPULAN

         whistle blower perlu dilindungi hak-haknya sebagai karyawan perusahaan atau institusi tempat dia bekerja. Mengacu ke Amerika Serikat, setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa WorldCom dan Enron, lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 kemudian menjadi payung hukum yang melindungi whistle-blower. Salah satu pasalnya mengatur bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan atas penyimpangan yang terjadi
         tidak hanya strategi penanggulangan simptomatik dan reprensif lewat pembaharuan dan penegakan hukum tetapi juga penanggulanngan kausatif dan preventif,
         tidak hanya melakukan ‘law refrom’ tetapi juga sosial economic, political, maral, and administrative refrom
         tidak hanya melakukan pembaharuan UU korupsi , tetapi juga pembaharuan semua peraturan perundangundang yang lain yaitu undang-undang yang memberikan peluang untuk terjadinnya korupsi/KKN, antara lain di bidang politik, ekonomi, keuanngan, perbangkan, kesejatrahan sosial, kode etik proposional dan perilaku pejabat, nirokrasi administratif dan sebagainya.
 2.2 SARAN

Kita harus melihat segala sesutatu dari berbagai presoektif yang membuka wawasan untuk menciptakan sebuah keberhasilan dalam segala, leh karena itu penting untuk pemberantasan korupsi tidak hanya di lihat dari satu aspek tetapi beberapa aspek untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Garner, Bryan A., ed., Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: Thomson West, Eighth Edition, 2004

Dr. H. Siswanto Sunarso, S.H.,M.H.,M.kn Victiminologi dalam Sistem Peradilan Pidana Jakarta Timur 2012



[1] Garner, Bryan A., ed., Black’s Law Dictionary (St. Paul-Minnesota: Thomson West, Eighth Edition, 2004
[2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a0ceb9d854d/revisi-uu-perlindungan-saksi-dan-korban-perlu-dipertajam terahkir di akses 27 januari 2013

[3] Dr. H. Siswanto Sunarso, S.H.,M.H.,M.kn Victiminologi dalam Sistem Peradilan Pidana Jakarta Timur  2012 hlm 221-222
[4] Barda Nawawi Arief Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan Jakarta  2007 hlm 135